Tiga pasang kaki melangkah di hutan. Menapaki jalan setapak yang sama dengan yang tercetak di peta perkamen. Terdengar bunyi daun bergemeresak tertiup angin. Beberapa hewan kecil—seperti bajing dan burung—melintas sekilas.
Tidak seperti di dalam Manor. Ada beberapa hantu di sini. Dorothea
harus mengabaikan tubuh-tubuh pucat yang dengan santai menembus pohon. Untung saja, tangan dingin Eins setia di pundak gadis itu. Membuat hantu lain tak acuh."Mungkin ini ide buruk," desis Eins.
Dalam hatinya yang paling dalam, Dorothea sedikit setuju dengan komentar si hantu.
Hutan yang di luar Manor Caldwell tampak tenang. Agak mengingatkan Dorothea dengan hutan di kamp pelatihan.
Itu bukan perbandingan bagus.
Akan tetapi, mereka masih punya petunjuk yang harus dicari dan dipecahkan. Dan mundur sekarang sama saja dengan berhenti membaca cerita detektif yang hampir sampai klimaksnya.
Jadi, dia terus melangkah maju.
Rasa penasaran kadang mengalahkan ketakutan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Todoroki. Sadar dengan ekspresi tidak nyaman Dorothea.
"Yeah," gumamnya. "Pengalaman terakhir kita di hutan tidak... berakhir baik, kan?"
Tubuh Todoroki menegang sejenak. Kemudian dia mendesah kecil. "Yeah, kamp pelatihan."
"Tunggu dulu," sela Hawks. Sayap merahnya bergerak-gerak.
"Benar, kau salah satu anak hilang yang diberitakan, aku ingat. Tapi, bukannya hanya Prodi Pahlawan yang ikut?"
Dorothea menggeleng. "Aku ikut untuk alasan dokumentasi. Klub Jurnalistik Internasional."
"Oh," ucap Hawks terbelalak. "Itu pasti sangat menakutkan."
Dorothea mendesah berat. Masih mengingat apa yang terjadi setelah kamp itu.
"Yeah, itu benar."
Todoroki berdehum. Tangan memegang erat peta. Dia mengamati si gadis dan si Pro Hero dengan seksama.
"Ngomong-ngomong, Hawks, Dorothea—"
Keduanya menoleh.
"Kalian itu—"
Dorothea mengangkat alis.
Kenapa perasaanku tidak enak?
"—Kakak adik ya?"
Ha.
Hah?!
"Eh?! Kamu dapat kesimpulan itu darimana?!" pekik Dorothea.
Hawks—dan Eins, yang pada titik ini sudah pasti menggunakan hidup Dorothea sebagai sarana hiburan—hanya tertawa keras mendengar teori konspirasi anak setengah-setengah itu.
"Ya...," Todoroki mengelus dagu. "Mata kalian sama, lalu sayap Hawks merah, rambutmu merah juga—walau tidak semerah itu, tapi—"
"Bloody hell, Todoroki, Hawks bukan kakakku," tandas Dorothea.
"Oh, ayolah. Kau tidak mau memanggilku Onii-chan?" goda Hawks.
Gadis itu membenamkan muka ke tangan.
"Don't encourage him!"
Hawks tertawa lagi. Todoroki hanya menatap datar. Akan tetapi, dia tersenyum kecil. Kemudian, anak itu kembali menilik peta. Matanya menyipit.
"Kita sudah sampai."
Mereka semua menoleh. Menatap ke depan.
Tidak ada gubuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; The Manuscripts
Fanfiction! ATTENTION ! Buku ini berisi kumpulan spin-off dari ceritaku yang lain berjudul 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Sebaiknya membaca yang itu dulu sebelum kalian membaca ini. Karena banyak hal di sini yang mungkin sulit dipahami tanpa membaca itu dulu...