Manuscript 8 : Questing 2

83 20 2
                                    

Keempat pengelana itu memandang Hikaru dengan mulut melongo. Kecuali Todoroki yang hanya memasang muka datar.

"Hikaru-san, maaf, apa maksud dengan 'mati'?" tanya Midoriya.

"Mati dalam artian mati mati. Tidak bernapas lagi. Meninggal," dengus Hikaru. "Apa kalian serius menanyakan itu?"

Keempat pengembara di depannya menarik napas pendek. Bertukar pandang bingung dan khawatir.

"Uh, aku masih tidak paham..." Uraraka angkat bicara. "Sebenarnya apa yang terjadi di desa ini??"

Perempuan di depan mereka berdehum. Memandang anggota party itu satu persatu. Tangannya menggaruk rambut. Setelah adrenalinnya terkuras, Midoriya baru bisa memperhatikan perempuan pemilik inn dengan jelas.

Gadis itu lumayan pendek. Matanya cokelat cerah. Dia memakai baju putih, korset kulit, dan rok hijau tua panjang yang kotor di bagian ujungnya. Celemeknya sudah tidak putih lagi. Kacamata yang bertengger di hidungnya mirip seperti milik Iida. Dan tentu saja, yang paling mencolok adalah rambut biru panjang yang terurai.

Hikaru mendesah. Lalu duduk di kursi yang belum di duduki di meja itu. Tangan terlipat dengan rapi. Dia mencondongkan kepala ke depan. Matanya jelalatan. Seperti akan mengungkapkan suatu rahasia.

"Singkatnya... desa ini dikutuk."

Lagi-lagi, keempat orang itu terdiam.

"D-dikutuk?"

"Ya. Aku bisa bilang kalian beruntung Eyesnatcher tidak berhasil menangkap kalian."

"Eye—apa?"

Hikaru menghembuskan napas berat.  Ada ekspresi pahit di mukanya. Dari wajah itu, apapun yang terjadi di sini pasti buruk. Akan tetapi Hikaru tetap menarik sudut bibirnya ke atas.

"Sebaiknya kalian tinggal sampai kabutnya hilang. Kalian sudah lihat sendiri bahayanya."

Si gadis melirik ke tangan Midoriya dan Uraraka yang terbalut kain. Keempat orang itu berpandangan. Ya, selama sekejap, mereka kehilangan kontrol dan tidak bisa mengatasi situasi.

Makhluk apapun yang ada di kabut itu, dia cukup cepat untuk melukai Midoriya dan Uraraka. Dan cukup kuat untuk memotong baju besi Iida seakan itu kain.

Ditambah lagi, mereka tidak kasat mata.

Iida berdehem. "Terima kasih, Hikaru-san, tetapi bisakah anda jelaskan lebih banyak soal keadaan desa ini?"

Lagi-lagi, Hikaru memasang muka berpikir. Mata cokelat memandang orang-orang asing yang sekarang duduk di depannya.

Bahu si kesatria tampak melorot. Dan laki-laki berambut merah-putih sedari tadi hanya memandang datar ke kejauhan. Ditambah lagi, anak berambut hijau dan si penyihir terluka.

Bagi Hikaru, mereka tidak siap dengan eksposisi yang dia punya.

"Yah...," Hikaru meletakkan telunjuk di bibir. "Ayo kita bahas besok. Setelah kalian makan dan istirahat."

Gadis itu bangkit. Menepuk celemeknya beberapa kali. Kemudian memberikan senyuman di bibir tipisnya.

"Tunggu sebentar. Aku akan ambilkan sesuatu dari dapur."

"Ah! Terima kasih banyak Hikaru-san!" Iida membungkuk dalam. Sebelum bangkit dan menggerakkan tangannya naik turun. "Berapa harga yang—"

"Uang tidak masalah," ucap Hikaru. "Keluargaku sudah melakukan ini dari tahun ke tahun, membantu orang yang cukup sial untuk datang pada Periode Kabut."

Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas. Membentuk senyuman simpul yang dilemparkan kepada mereka. Sebelum melangkah menjauh dengan mendesah pelan.

"Sayang sekali, tahun ini, 'orang' itu kalian."

Normal ; The ManuscriptsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang