Dia tahu bahwa dirinya sakit-sakitan.
Sejak kecil, dia selalu lebih lemah daripada orang lain. Lebih rapuh daripada orang lain.
Dia bahkan yakin dia akan mati karena kondisi tubuhnya ini.
Dan, yah—
Benar, dia mati.
Namun, prediksinya salah.
Dia tidak pernah menyangka akan mati di tangan keluarganya sendiri.
Setidaknya dia bisa meneruskan obornya ke orang lain. Suatu saat nanti, seseorang pasti bisa menyelesaikan tugasnya.
Dan dengan itu, matanya tertutup.
***
Ketika dia membuka matanya, dia melihat dunia dari sudut pandang burung.
Dari atas. Dengan tubuh pucat—hampir transparan—yang dingin. Dia tidak merasakan detak jantung atau helaan napas.
Dia tidak merasakan apapun.
Dan dia menunduk ke bawah, ke tempat tubuh berambut putih tergolek.
Tubuhnya.
Suara tercekik muncul dari tenggorokannya.
Yah.
Setidaknya ini lebih baik dari neraka.
***
Tidak seperti yang lain, dia memilih untuk mengembara.
Yang lain suka berdiam di tempat mereka menarik napas terakhir. Atau mungkin di tempat yang signifikan. Rumah, bangunan, taman, bahkan makam mereka.
Sisanya menempeli orang-orang yang berkaitan dengan mereka. Keluarga, teman, bahkan pembunuh mereka. Berharap suatu saat nanti karma ada.
Dia tidak melihat sisi positif hal itu. Dia tidak punya orang untuk ditempeli. Dan dia lebih memilih mati dua kali daripada menempeli pembunuhnya.
Toh, yang hidup tidak bisa melihat mereka.
Dan dia tidak ingin berdiam di tempatnya meninggal. Terlalu banyak hal dan kenangan buruk di sana.
Jadi, dia memutuskan pergi.
Dia terus melacak para penerusnya. Mengawasi dengan mata mati yang dingin. Merasa lega ketika obor yang dia beri terus menyala.
Merasa sedih ketika api itu harus berpindah tangan. Yang berarti satu hantu muncul lagi dalam keheningan malam.
Dia pikir mereka bisa berkumpul bersama. Mungkin sedikit bertukar cerita. Mungkin dia harus meminta maaf karena obornya itu menarik para penerusnya dalam masalah.
Namun, kebanyakan hantu tidak suka dekat dengan satu sama lain.
Beberapa penerusnya bahkan ada yang langsung menyebrang.
Mungkin bagi mereka, meninggal melawan dia adalah akhir dari sebuah tugas. Bukan urusan yang belum selesai.
Tetapi mereka masih bertemu. Walaupun jarang.
Hanya sebagai kesadaraan lain dalam mimpi dan pikiran penerusnya yang masih hidup.
Dia tidak terlalu menyukai proses itu. Kepalanya terasa di belah dua. Satu masih dalam sosok hantu, satu lagi di dalam benak penerusnya.
Tidak, rasanya tidak sakit.
Dia hantu. Dia tidak bisa merasakan sakit.
Hanya... aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; The Manuscripts
Fanfiction! ATTENTION ! Buku ini berisi kumpulan spin-off dari ceritaku yang lain berjudul 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Sebaiknya membaca yang itu dulu sebelum kalian membaca ini. Karena banyak hal di sini yang mungkin sulit dipahami tanpa membaca itu dulu...