"Baiklah—" Dorothea menelan ludah.
"Ini lebih buruk daripada yang aku kira."
"Apa yang kubilang!"
Dorothea merutuk di balik napasnya. Sebelum membisikkan maaf untuk Eins.
"Setelah dipikir lagi, ini ide yang cukup bodoh—"
Suara menggeram terdengar di sekitar mereka. Kali ini lebih keras. Menggema dari sela pepohonan.
"Ralat. Ini ide yang sangat bodoh."
Perisai sihir Uraraka bergetar. Udara di sekitar jatuh. Dorothea bergidik.
Itu dingin yang sama setiap kali hantu menembus melewatinya. Atau saat Eins melingkarkan tangan untuk 'memeluk'-nya.
Dingin itu familiar.
Akan tetapi, kali ini rasanya tidak menyenangkan.
Mereka semakin dekat.
"Aku punya perasaan buruk soal ini."
"Kita semua juga," balas Todoroki. Mata heterokrom memandangi putih di sekitar dengan waspada.
"Tapi sudah sejauh ini—kembali bukan pilihan." Midoriya ikut menimpali.
Dorothea menghembuskan napas berat. Dia melirik ke Eins yang masih melayang di dekatnya. Sama seperti mereka semua, si hantu malah tampak lebih tidak nyaman.
Tubuh spektral Eins berkedip dari waktu ke waktu. Gerakannya patah dan tidak fokus. Mata dingin menatap jauh keluar dari perisai sihir dengan ragu. Kabut yang mengitari terasa semakin pekat.
"Eins, ini tinggal lurus, iya kan?"
"Yeah," bisik si hantu. "Sebentar lagi."
Dorothea tidak tahu hantu bisa terdengar gugup. Dia tidak suka mendengar Eins yang gugup.
"Kau boleh kembali kalau—"
'Pelukan' dingin di sekitar lehernya mengerat.
"Aku tidak meninggalkanmu."
Dorothea tersenyum kecil mendengar itu. Menggumamkan terima kasih kecil di balik napas.
Uraraka yang berjalan di sebelahnya mengamati dengan penasaran. "Hantumu ini... kau bilang kau berteman dengannya?"
"Ya. Eins dan aku teman."
Dan aku sangat bersyukur memilikinya.
"Wah, aku jarang bertemu medium sepertimu! Yah, walaupun secara teknis tidak banyak yang—"
Kalimat Uraraka berhenti. Walaupun begitu, sepertinya semua sudah tahu apa kata selanjutnya.
Tidak banyak yang tersisa.
Pada saat magic-ban—zaman dimana penyihir ditenggelamkan ke sungai dan digantung—medium adalah yang paling banyak diburu.
Kemampuan melihat mereka yang sudah mati dianggap pemberian iblis.
Dorothea merasa sangat beruntung dia lahir jauh setelah zaman itu berakhir.
"Yeah." Gadis itu mendesah kecil. "Tapi medium tidak sebanding dengan—"
"AGH!"
Uraraka menjerit. Tongkat hampir terlepas dari tangan.
Di sekitar mereka, perisai sihir menggila.
Berdenyar dan memercik. Mengirim kilatan energi biru. Bergetar hebat.
"Apa yang—!"
"Sesuatu menyerang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; The Manuscripts
Fanfiction! ATTENTION ! Buku ini berisi kumpulan spin-off dari ceritaku yang lain berjudul 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Sebaiknya membaca yang itu dulu sebelum kalian membaca ini. Karena banyak hal di sini yang mungkin sulit dipahami tanpa membaca itu dulu...