Dorothea memandang Todoroki yang memainkan cufflink di lengan jas abu-abunya sembari berpikir. Alisnya menukik serius.
Untung gadis itu tidak perlu menerjemahkan tebakan di kain. Todoroki fasih membaca bahasa inggris. Seperti kebanyakan anak orang berada yang dia temui.
Kening Todoroki mengernyit membaca teka-teki di kain. "Mengarah ke suatu tempat ya?"
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Hark, traveler, find my hall—berarti kita harus mencari aula ini."
"Ah, masuk akal..." gumam Dorothea. "Under, below, it may call—bisa berarti di bawah tanah."
Gadis itu merasakan aura dingin Eins yang membaca dari balik bahunya.
"Coba cek petanya," usul si hantu.
Dorothea menurut. Dia membuka lipatan peta. Mencari penjelasan soal ruang bawah tanah.
"Aha!" pekiknya. "Ada gudang bawah tanah, tempat penyimpanan alat, dan... wine cellar? Geez, Caldwell benar-benar stereotip bangsawan kuno kaya."
Todoroki tersenyum kecil. "Jadi, tinggal memilih salah satu dari tempat itu?"
"Atau kita bisa mengeceknya satu persatu?"
"Akan makan banyak waktu," tolak Todoroki.
Dorothea mendesah. Melirik lagi ke tebakan.
"Stacked within the aged grapes, uh—ada bersama dengan anggur tua?"
Mata gadis itu melebar.
"Pasti wine cellar! Anggur tua itu sama dengan wine, kan?"
"Ah, benar," ucap Todoroki. Dia menunjuk ke baris berikutnya. "Throne of madness, wines, and vines, lihat. Tertulis wine juga di sana."
"Bisa juga alusi ke Dionysus."
Celetukan Eins itu membuat Dorothea melirik ke udara kosong di sampingnya. Mengangkat alis.
"Apa?" Eins mengangkat bahu. "Aku ikut membaca buku mitologimu juga, Dorothea."
"Dorothea-san?"
Gadis itu tersentak. Todoroki memiringkan kepalanya. "Ada apa? Kau tiba-tiba diam?"
"Ehehe, tidak," ucapnya. Dia menggaruk kepala. "Aku ingat temanku pernah bilang soal Dionysus. Dewa perayaan, wine, dan kegilaan dari mitologi Yunani."
"Alasan tambahan untuk pergi ke wine cellar."
"Benar," ucap Dorothea setuju. Dia memasukkan potongan kain ke tas Lalu menatap Todoroki yang kembali menelisik peta.
"Ayo, lewat sini."
***
Mereka berjalan di lorong, akhirnya berhenti di satu pintu yang tampak sedikit lebih sederhana daripada pintu ukir yang dipakai di semua ruang. Todoroki membukanya.
Tampak lorong gelap dengan tangga menurun di sana.
Todoroki melangkah masuk lebih dulu. Dia dengan hati-hati menuruni anak tangga pertama. Dorothea menatap ragu dari ambang pintu.
"Kita akan butuh senter—"
Tangan kiri Todoroki mengeluarkan api.
"—atau kau bisa memakai quirkmu."
Dorothea masih menatap ragu ke lorong. Tempat itu gelap dan tampak lembab. Cukup membuat keraguan membuat skenario buruk di otak.
Sejenak, hawa dingin Eins melingkupinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal ; The Manuscripts
Fanfiction! ATTENTION ! Buku ini berisi kumpulan spin-off dari ceritaku yang lain berjudul 'Normal (A BNHA Fanfiction)'. Sebaiknya membaca yang itu dulu sebelum kalian membaca ini. Karena banyak hal di sini yang mungkin sulit dipahami tanpa membaca itu dulu...