XXXVI

359 79 2
                                    

Setelah turun, kami berjalan sebentar sebelum akhirnya harus memanjat. Andai saja jembatannya tak roboh, kami bisa dengan mudah menyebrangi jembatan. Namun dengan keadaan seperti ini, kami harus turun dan menanjak untuk melanjutkan perjalanan. Jalur tanjakannya sedikit curam, hanya bebatuan miring dengan sedikit pijakan untuk ke atas.

"Siapa yang akan naik lebih dahulu?" tanyaku sambil menoleh pada mereka.

"Aku, karena kurasa aku yang paling ringan" David mengajukan diri.

"David, apa kau bisa mengikat tali?" tanya Mark tiba-tiba.

"Huh? Untuk apa?" tanya David sedikit terkejut. Dari responnya, aku tahu ia tak bisa mengikat tali dengan kencang.

"Setelah kau sampai atas, ikat talinya di pohon atau kayu. Jadi yang lain akan lebih mudah untuk menanjak. Terutama yang berat badannya-" Mark menoleh padaku.

"APA?" tanyaku sedikit melotot.

"Uhuk uhuk, tak apa. Jadi intinya, kau bisa mengikat tali atau tidak? Karena bila talinya tak terikat dengan kuat, kami yang akan jatuh" kata Mark mengalihkan pandangan.

"Euuu, kurasa aku bisa? Sepertinya,... mungkin?" David bertanya balik. Ia sendiri pun bahkan tak yakin.

"Alexa, kurasa kau saja yang ke atas lebih dulu. Aku tak mau jatuh" ucapku sambil menenggakkan kepalaku, memberi isyarat pada Ex.

"Eh? Tak apa mam, kau masih bisa memanggilku Ex bila kau mau" jawabnya yang sepertinya masih belum terbiasa dengan nama aslinya sendiri.

Ex maju ke depan dan mengambil tali tambang dari tas Mark. Ia mulai memanjat dengan cepat. Melihat Ex memanjat membuatnya terlihat mudah. Tak butuh waktu lama, akhirnya ia sampai di atas. Aku tak begitu yakin berapa tingginya. Mungkin 100 meter? 120? 150? Entahlah.

Segera setelah Ex sampai di atas, ia langsung mengikatkan ujung tali pada pohon. Ujung lainnya ia lempar ke bawah, yang jelas tak sampai pada genggaman kami. Intinya, kami harus memanjat sendiri untuk beberapa puluh meter sampai akhirnya bisa dibantu oleh tali. David memanjat lebih dahulu, disusul olehku, Ri, dan Mark yang terakhir. Aku memindahkan tasku ke depan karena punggungku akan terasa sakit bila bebannya terlalu berat, terutama saat memanjat.

David juga terhitung gesit saat memanjat. Ia mempercepat gerakannya sehingga menimbulkan sedikit jarak antara aku dan dia. Setelah beberapa saat, kami sampai di area dengan tali, membuat David jauh lebih cepat memanjat. Aku masih dalam kecepatanku yang terkadang berhenti di tengah jalan, membuat Ri mengoceh.

"El, jangan berhenti tiba-tiba!"

"El, langkahmu membuatku kagok"

"El, bajumu basah. Keringatmu menetes ke wajahku!"

"Jorok" batinku menanggapi. Padahal itu keringatku sendiri.

Setelah perjuangan menanjak dan tanganku yang mulai memanas memegang tali, akhirnya kami sampai di atas. Alih-alih melepas talinya, Ex justru mengeluarkan cakramnya dan mulai memotong tali dari pohon. David mengangkat alisnya dan menghampiri Ex.

"Ex?" tanyanya tak yakin.

"Talinya tali mati" jawab Ex simpel disusul oleh tatapan malas David.

Tak banyak yang bisa dijelaskan. Kami hanya melanjutkan perjalanan tanpa berbicara sepatah kata pun selama hampir 3 jam. Hanya ada suara nafas tipis yang terengah-engah di sela-sela keheningan. Wajahku sedikit memerah, begitu pula yang lainnya. Udaranya sedikit lebih panas dari yang kubayangkan. Cukup panas sampai akhirnya David mengeluh.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang