Saat motornya benar-benar berhenti, pintu lab depan mulai terbuka. Yuki dan Regis keluar dan melihat ke arah kami. Posisi kami masih berada di luar lab. Ri terlihat bergegas membuka sabuknya dengan buru-buru, pergi menjauh, dan menunduk.
"Kalian tak apa-apa?" tanya Yuki khawatir melihat kami.
Ri mengacungkan ibu jarinya, menandakan bahwa ia baik-baik saja, walaupun kelihatannya tak seperti demikian. Dan benar saja, belum 5 detik setelah ia mengacungkan ibu jarinya, ia langsung muntah. Ex melompat dari motor dan langsung menghampiri Ri untuk menepuk-nepuk punggungnya.
Regis menghampiriku yang masih berjongkok. Ia menatapku sesaat sebelum bertanya pertanyaan terkutuk yang merusak mood itu.
"Kau,... benjol?" tanyanya. C'mon Regis. Setelah sekian lama, hal pertama yang kau katakan padaku adalah 'kau benjol?', huh?
"Dan kotor" David menambahkan. Dasar bocah sialan.
"Ia terperosok dan menabrak pohon" kata Mark sambil membantu melepaskan pengait sabuk itu dari motor.
"... aku tak ingin membahasnya" jawabku lelah berusaha mengabaikan.
"Kau tahu, El? Benjolmu terlihat me-" suara David terpotong.
Aku tak begitu ingat apa yang terjadi, yang pasti sekarang aku sedang duduk di atas kursi dengan melipat tanganku. Ex dan Yuki membawa semangkuk penuh es batu dan beberapa kain untuk mengompres. David terlihat duduk kaku di sampingku. Dan,- oh yah, dia benjol juga sekarang.
Hari mulai fajar. Matahari mulai menampakkan dirinya. Mataku sedikit lebih sayu, mengingat kami menghabiskan sepanjang malam untuk perjalanan kesini. Kantung mataku mulai menghitam, membuatnya terlihat seperti kumpulan layer yang menggantung, mengganggu pemandangan. Yuki sibuk mengurusi David, mengompres benjolnya dengan kain dan es batu. Ex mengurusiku dan melakukan hal serupa, hanya saja kain yang ia bawa lebih banyak karena lebam di tubuhku dimana-mana.
Yuki dan David selesai lebih dulu dan pergi meninggalkan aku dan Ex. Mataku melirik tipis ke arah Ex. Matanya sama sayunya denganku. Mungkin ia lelah. Mungkin ia mengantuk. Mungkin ia memikirkan sesuatu. Semua terlihat intens sebelum rasa dingin itu menjalar ke hidungku.
"Ex, Ex, kau mengompres hidungku" kataku membuyarkan lamunannya. Seingatku ia mengompres benjol di kepalaku.
"Eh, uh, huh? Oh maaf, Mam" jawabnya bingung sambil kembali menempatkan kain dingin berisi es batu itu ke kepalaku.
"Kau mengantuk, Ex?" tanyaku padanya. Dari wajahnya, ia memang terlihat mengantuk.
"Ada hal yang aku pikirkan, Mam" katanya, alih-alih menjawabku.
"Ini tentang kakekku", ia melanjutkan, "Ah tidak, ini tentang semuanya. Tentang aku, tentang Mam, tentang yang lain, tentang dunia" katanya bingung menjelaskan.
"Tentang kita?" tanyaku singkat.
"Saat kakek menjelaskan tentang bagaimana pengalaman mereka di hari terakhir melawan zombie, ia tak sanggup melanjutkan. Ia terlihat terpukul. Bagaimana pun, Nenek menjelaskan semuanya padaku. Dan sekarang, aku yang merasa terpukul" jelas Ex tak tenang.
"Kau mau menceritakannya, Ex?" tanyaku, mencari tahu apa yang sebenarnya membebani pikirannya.
"Belum. Untuk saat ini, kurasa belum" jawabnya. Itu pasti hal yang berat untuk diceritakan.
"Baiklah" jawabku sambil bangkit dari kursi, berniat menuju ruangan untuk beristirahat. Ia masih duduk, sedikit menunduk.
"Lalu Ex, terima kasih" kataku sambil mengangkat kain kompres itu di tanganku, melambai padanya.
Bahkan belum 5 detik semenjak aku memalingkan wajahku untuk pergi, ia berkata lagi. Ada sedikit ketakutan pada nada bicaranya.
"Mam..." katanya, tak melanjutkan.
"Ya?" tanyaku sambil berbalik, menatapnya yang menenggak.
"Hal itu mengerikan" kata Ex penuh penekanan. Ia tak menunduk lagi, ia menatap jelas ke arahku. Wajahnya terlihat kaku, sulit kumengerti.
Aku berbaring di sebuah kasur di satu ruangan. Masih dengan sedikit rasa merinding di sekujur tubuhku setelah mendengar kata-kata Ex. 'Mengerikan', katanya. Aku tak tahu apa definisi 'mengerikan' bagi Ex. Apa hal terburuk yang mungkin terjadi? Melihat orang yang kau sayangi berubah menjadi zombie? Atau melihat seseorang membunuh orang yang kau sayangi tepat di depan kedua matamu? Keduanya. Keduanya mengerikan.
Aku terlalu banyak berpikir. Benang-benang kusut itu muncul lagi, berterbangan, masuk ke kepalaku, menetap di pikiranku. Yang kutemukan ujungnya akan lurus, pergi, kemudian benang kusut lainnya akan datang lagi. Terus seperti itu, tak ada akhirnya. Satu hari otakku terasa seperti labirin. Penuh dengan teka-teki. Apa misterinya? Bagaimana jalan keluarnya? Satu hari otakku terasa seperti dompetku. Kosong. Tak bisa membayangkan apapun. Memikirkannya membuatku stress. Memikirkannya membuat mataku berat. Pelan-pelan, hingga akhirnya tertidur.
.
Aku duduk, entah dimana, aku pun tak yakin. Gelap. Tak ada apapun di sekelilingku, kecuali sebuah layar besar yang terlihat seperti bioskop. Hanya hening beberapa saat sebelum sebuah film terputar di depanku. Seorang aktris dengan mata sayu dan luka di hidungnya berdiri, menghadap ke arah kamera, menghadap ke arahku. Ia berkedip, lalu mulai menangis. Bulir-bulir air mata turun, mengalir di pipinya. Ia menangis, lalu menangis, lalu tertawa. Tawanya aneh, jernih dan jelas. Bulir-bulir air mata itu jelas masih berderas di wajahnya. Tapi ia tertawa. Semakin lama, tawanya semakin menggangguku. Mengganggu pikiranku, mengganggu jiwaku. Lalu sedetik kemudian, ia berhenti tertawa, dan menghilang.
Film berlanjut, berganti scene. Kini yang kulihat adalah pemandangan-pemandangan acak. Jalan setapak di hutan. Pohon yang terlihat sedikit membungkuk. Batu-batu besar yang sedikit menghalangi jalan, dan mulut gua yang menganga lebar. Gambar-gambar pemandangan itu terus diputar, lagi, lagi, dan lagi. Seakan-akan seseorang ingin memberitahuku untuk memperhatikan setiap detailnya. Atau-
Seakan-akan seseorang ingin aku mengingat lokasinya.
Scene berlanjut. Sekarang pemadangan-pemandangan itu mulai terlihat seperti traumacore di mataku. Teks abstrak, beberapa bagian yang blur, hitam, atau putih terang. Lalu gelap. Semuanya gelap. Sesaat sebelum aku berpikir filmnya selesai, scene lain muncul. Cairan, ah tidak, cahaya. Rapuh dan terlindungi. Lalu dari bawah muncul tangan-tangan busuk zombie, mencoba menggapainya. Raungan-raungan mulai mengeras. Tangan-tangan itu semakin ganas. Terus mengganas sampai akhirnya terbakar, berhenti, mati.
Begitu saja. Selesai. Layarnya berubah menjadi gelap. Terlalu gelap sampai-sampai aku mengira aku kehilangan pandanganku, buta. Aku mengedip beberapa kali, memastikan. Semuanya benar-benar gelap. Ini membuatku panik. Aku memejamkan mata cukup lama, dengan tangan bergetar, berdoa. Berdoa tentang apapun. Hingga akhirnya aku memberanikan membuka mataku lagi, dan... Atap. Hanya atap yang sedikit buram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death 2 : Illusion
Adventure(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu sebuah berkah atau kutukan. Tapi demi apapun, aku lebih memilih mati dibanding berubah menjadi makhluk mengerikan bernama Zombie itu. Perja...