Mobil terus berjalan entah kemana. Buku tua yang dipegang David tak memberikan petunjuk apapun selain professor itu. Lagipula di dunia yang antah berantah ini, bagaimana kami menemukan seorang professor itu?
Apakah ia berada di tengah hutan?
Atau perkotaan?
Atau ditempat yang tak pernah kami duga sekalipun? Entahlah, siapa yang tahu?
Cahaya matahari meredup, tertutup oleh awan-awan putih yang sepintas terlihat seperti kapas-kapas raksasa yang mengapung di langit. Aku mengelap keringat di dahiku dengan tanganku. Walau masih kegerahan, kurasa dengan adanya awan lebih baik. Mobil melewati suatu jalan yang… sebenarnya aku tak mengerti ini dimana. Tak ada hal spesifik yang menunjukkan bahwa yang sedang mobil kami gilas ini adalah jalan. Yang kulihat kali ini adalah lapangan luas dengan beberapa bangunan tinggi yang tentunya dalam keadaan tak terawat. Maksudku, kau bisa melihat tiang-tiang rusak disini. Beberapa bagian di daerah sini bahkan hancur.
Sebenarnya di daerah sini cukup sepi. Aku tak mendengar ada raungan, kecuali mungkin beberapa raungan kecil dari arah gunung diatas sana. Cukup kecil sampai kami mengira bahwa zombie-zombie itu mungkin berada sangat jauh dengan kami.
Sekali lagi, mungkin.
Aku mengambil botol minum di kardus belakang. Dengan cuaca seperti ini, bukan tak mungkin bila aku dehidrasi, begitu pula dengan yang lainnya. Bahkan rasanya, David lebih sering minum dibandingkan aku.
“Aku mau keluar” kataku sambil berusaha membuka pintu. Tentu saja, setelah meminta Mark mematikan mesin mobil.
“Kau yakin, El?” tanya Fauzia dari belakang.
“Yeah. Aku tak bisa mati kepanasan di dalam mobil. Disini terlalu pengap” kataku sambil turun dari mobil.
“Mam, aku ikut” kata Ex sambil ikut turun.
“Aku juga” kata David sambil ikut turun sesaat setelah aku hendak menutup pintu mobil.
“Sepertinya aku juga butuh udara segar” kata Mark sambil membuka pintu mobil lainnya.
“Ya sudah semua saja keluar” kata Jesica sambil ikut turun.
Kami turun dari mobil. Aku berkacak pinggang dan melihat sekeliling. Kurasa disini cukup aman.
“Bagaimana kalau kita berkemah?” usul Yuki.
“Hah?” tanya Jesica yang sepertinya belum biasa.
“Maksudnya kita akan duduk diatas kain dan makan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan?” tanya Yuki sambil membuka pintu belakang bagasi.
“Boleh saja” kata Mark sesaat sebelum ia membantu Yuki mengambil makanan.
Kami berjalan beberapa meter menjauhi mobil, mencari bagian yang cukup bersih. Yuki mengamparkan kainnya dan segera duduk di atasnya diikut oleh yang lainnya.
“Bukankah ini pie?” tanyaku sambil mengambil kue pie yang baru saja dikeluarkan Ex dari tas.
“Mam, itu pie apel. Punya mam yang ini” katanya sambil mengeluarkan pie serupa dengan warna yang lebih cerah. Kurasa itu rasa keju.
Aku mengambil pie yang baru saja dikeluarkan oleh Ex. Sedangkan yang lainnya mengambil makanan mereka masing-masing. Entahlah, aku terlalu lapar untuk melihat apa saja yang mereka pilih. Mungkin kue, mungkin roti, mungkin nasi? Entahlah.
Kami makan dengan lahapnya tanpa berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih memotongnya, aku mengigit pie keju dengan ukuran besar. Sedangkan yang lain… ah tak tahu, kali ini aku hanya akan fokus dengan pie kejuku.
“…”
“…”
“argh…”
“ARGHHHHHHHHHH!” raungan itu muncul lagi.
Semakin keras dan semakin dekat. AH SIAL KENAPA HARUS DISAAT SEPERTI INI?!
“Semuanya masuk ke mobil!” kata Mark sambil bangkit dari duduknya. Yang lain pun ikut bangkit dan membereskan makanannya. Zombie-zombie itu turun dari atas gunung, berjatuhan dan saling tumpak tindih. Melihat mereka membuat aku tak nafsu makan. Untuk beberapa saat aku terdiam sampai akhirnya yang lain berhasil masuk mobil.
“Haruskah aku menjalankan mobilnya?” tanya Mark.
“Gas saja!” seru Jesica.
Mark menyalakan mobilnya dan mobil mulai bergetar. Ia pun menancapkan gas namun… sepertinya mobilnya tak mau bergerak.
Aneh.
Entah apa yang salah, padahal mesin mobil sudah jelas-jelas menyala. Namun kenapa mobil ini tak mau maju?
“Tak apa, tak apa. Jangan dulu panik. Setidaknya walaupun zombie-zombie itu sampai ke mobil ini, mereka akan tersetrum listrik kan?” kata David ketika melihat wajah kami panik.
“Semoga…” kataku.
Kala itu tak ada yang kami lakukan selain diam di dalam mobil. Aku sendiri hanya diam menatap jendela, berharap bahwa zombie-zombie itu akan tumbang tersetrum saat mendekati mobil.
Zombie itu semakin dekat dan semakin dekat menuju ke arah mobil. Dan saat zombie itu sudah sampai ke daerah mobil, kami mendekatkan wajah ke jendela, berharap para zombie itu akan tersetrum. Tapi sepertinya, nasib berkata lain.
Sepertinya nasib memilih agar kita menggunakan kekuatan kami untuk melawan zombie itu. Atau mungkin, nasib memilih agar kita ikut bergabung dengan mereka, makhluk menyeramkan itu?
Zombie-zombie itu kini mengelilingi kami. Kurasa ada yang salah dengan listriknya tapi aku tak tahu ada masalah apa. Untuk ukuran mobil sebesar ini, tidak mungkin bila listriknya habis dalam waktu 2 hari.
Dan aku yakin, there’s something wrong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death 2 : Illusion
Adventure(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu sebuah berkah atau kutukan. Tapi demi apapun, aku lebih memilih mati dibanding berubah menjadi makhluk mengerikan bernama Zombie itu. Perja...