XLI

301 72 5
                                    

            Aku mengucek mataku. Untuk beberapa saat, aku yakin aku sudah bangun dari tidurku, namun entah mengapa aku masih bisa mendengar gemuruh petir itu di lab ini. Cahaya matahari itu masuk lewat sela-sela ventilasi, membuatku bingung. Ini bukan suara petir, ini suara yang lain.

  "MAAAM! MAAAAAM!" teriak Ex semakin dekat. Tunggu, gemuruh itu suara Ex?

 "Iyaaa?" tanyaku panjang, bangkit dari tempatku tidur.

"Helikopternya bisa terbang!" teriaknya semangat. Ia tiba di depan pintu ruanganku yang sudah terbuka. Siapa pula yang membukanya?

"EH? Helikopter?" tanyaku kaget. Sejak kapan Prof. Regis punya helikopter?

Aku bangkit, mengikuti Ex keluar ruangan, beranjak menuju gemuruh berisik itu. Itu suara helikopter, bukan suara petir, atau suara gemuruh Ex. Semuanya di sana kecuali Ri, menyaksikan helikopter yang akan mendarat. Prof. Regis di dalamnya, mengenakan semacam mikrofon headset atau apapun itu aku tak tahu. Tangannya memakai sarung tangan hitam. Lumayan keren, kecuali fakta bahwa ia lupa mengganti bajunya dari piyama ke baju formal. Entahlah, mungkin itu pilihannya.

Setelah beberapa menit proses, akhirnya helikopter mendarat dengan selamat. Regis turun dari helikopternya dengan ekspresi arogan seperti biasanya. Sudah tak asing lagi bagiku melihatnya, mungkin bagi semuanya. Namun seberapapun tinggi hatinya, aku akan mengakui bahwa ini mengesankan.

"Aku tak tahu kau punya helikopter" ucapku setelah ia melepaskan headset-atau-entahlah-apa-namanya.

"Aku menyimpannya untuk momen terbaik" katanya sambil mengibaskan rambutnya yang tak seberapa itu. Meh.

"Prof. Regis, jangan lupakan fakta bahwa kita pernah akan menggunakannya untuk menjemput mereka di hutan namun mesinnya berasap dan kita kembali jatuh" ucap Jesica menghancurkan momen bangganya.

"BERISIK" ucap Prof. Regis sambil memukul Jesica dengan gulungan kertas.

"Jadi bagaimana? Kau mau berkeliling dengan helikopter?" tanya Prof. Regis padaku. Ini kesempatan bagus, tapi aku masih tak yakin.

"Biar kupikirkan nanti" jawabku sambil mengangkat jariku membentuk pistol, menunjuk ke arahnya.

"Apa aku boleh ikut?" tanya David tiba-tiba. Bodoh.

"Tidak ada yang boleh merusak kencanku, bocah" kata Regis mendekat sambil berkacak pinggang.

"EH? KENCAN? KALAU BEGITU AKU HARUS IKUT" ucap Mark penuh penekanan di setiap katanya. Regis memutar matanya, malas.

"Sudah, sudah. Bagaimana kalau kalian membantuku di ruang mesin? Masih banyak hal yang harus kita urus" ucap Jesica melerai sesaat sebelum mengambil jas labnya, disusul oleh langkah kaki bubar dari yang lainnya.

Hari menjelang sore. Tak ada yang kulakukan kecuali berbaring di karpet dengan Ex, menatap langit-langit, dan berbicara tentang kehidupan. Ada banyak hal yang kupikirkan, lagi, tak ada hal yang kulakukan. Semua berjalan begitu saja, sesaat sampai kudengar suara itu mendekat.

"EL! Bagaimana kalau kita berangkat sekarang? Kurasa Mark sedang ti-" suara Regis terdengar semakin keras saat ia menghampiri ruangan kami, dan kalimatnya terpotong begitu ia melihat Ex sedang bersamaku.

"WHAT THE FUCK EX, KAU LAGI?" tanya Regis kencang sambil menunjuk Ex, kesal.

"HEYYY! Apa maksudmu 'lagi'? Aku memang selalu bersama Mam-ku" kata Ex tak terima.

"Ah lupakan, El, kabari aku saat anak itu tidak di-" belum selesai ia bicara, aku sudah memotongnya.

"Biarkan dia ikut" kataku sambil melihatnya.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang