XLII

309 73 4
                                    

            Kini langit mulai gelap. Aku masih pada posisiku, memikirkan banyak hal sebelum akhirnya Ex datang menghampiriku.

"Mam, lihat Ri?" tanyanya tiba-tiba. Ah iya, dipikir-pikir aku juga belum melihat Ri seharian ini.

"Entahlah, Mam juga tak lihat. Mau kubantu cari?" tanyaku padanya. Ia mengangguk.

Aku bangkit dari posisiku untuk membantu Ex mencari Ri ke seluruh ruangan. Setelah berkeliling sebentar, yang kutemukan hanyalah David yang sedang tidur.

"David, bangun" ucapku pelan, tapi tak menghampirinya.

"Kenapa membangunkannya, Mam?" tanya Ex.

"Tak apa, Mam bosan" jawabku remeh. Aku tak punya alasan membangunkan David, dan itulah titik serunya.

"Sssst El, kau tak boleh usil pada adikmu. Dia tidur karena lelah berlatih bertarung selama berjam-jam" kata Jesica tiba-tiba menghampiri entah darimana. Kurasa ia sudah selesai mengurus mesin dan alat-alatnya.

"Ahahaha maaf, kebiasaan" jawabku menyadari kesalahanku. David berlatih bertarung? Hebat juga.

"Jesica, kau lihat Ri?" tanya Ex.

"Eh?? Ia belum pulang?" Jesica balik bertanya, bingung.

"Heeeh? Memangnya ia pergi kemana?" tanya Ex.

"Kurasa tadi pagi ia bilang akan keluar untuk melatih senjata, kau tau, senjatanya sempat malfunction dan itu membuatnya minder" jelas Jesica.

"Tadi pagi? Tapi sekarang sudah hampir jam 7 malam. Rasanya aneh ia belum kembali" kataku.

"Jangan-jangan mesinnya bermasalah?" tanya Ex panik. Sebenarnya bukan tak mungkin mengingat setengah badan Ri terdiri dari mesin kompleks.

"Tapi kurasa-" belum selesai aku bicara, teriakan itu terdengar jelas walau dari kejauhan.

"RI!" teriak seseorang dari jauh yang kurasa Mark.

Kami spontan berlari menghampiri ruangan asal suara, ruangan depan pintu masuk. Saat kami sampai di sana, kulihat Ri sedang menggendong seseorang di belakangnya. Aku tak begitu bisa melihat wajahnya dengan jelas karena ia menunduk, pingsan. Ri terlihat kesulitan mengalihkan pria itu ke punggung Mark. Segera setelahnya, Ri langsung ambruk ke lantai. Tak lama kemudian, Hani datang mendorong semacam brankar dorong berwarna hitam disusul oleh Mark yang segera meletakkan pria itu di atas brankar dorong, merapikannya agar berada di posisi tidur. Aku melirik ke arah Ri yang lemas di lantai, lalu mengalihkan pandanganku pada- eh tunggu, makhluk apa ini?

Mataku terkunci pada wajahnya, dan kurasa Ex pun begitu. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, wajahnya terlalu sempurna, seperti ukiran-ukiran lama. Rahangnya tajam dan terbentuk dengan rapi. Hidungnya runcing, bahkan darah mimisan tak mengganggu penampilannya. Bulu matanya juga cukup lentik untuk ukuran seorang laki-laki, bahkan lebih lentik dariku. Sedikit darah dan luka-luka pada wajahnya tak terlihat seperti kekurangan. Astaga, dia tampan sekali.

Aku dan Ex reflek mendekat ke brankar dorong, berniat melihat wajahnya lebih dekat.

"Mam, apakah ia nyata?" tanya Ex tanpa mengalihkan pandangannya.

"Entahlah, tapi Mam harap ia nyata" jawabku seadanya.

"Mam, apakah ia malaikat?" Ex bertanya lagi. Pada tahap ini, aku pun tak tahu apa jawabannya.

"Entahlah, Ex. Mungkin" jawabku lagi-lagi seadanya.

"Mam, apakah ia dewa?" Ex bertanya lagi. Aku tak bisa menyalahkannya, wajahnya memang terlihat seperti pahatan patung dewa-dewa Yunani.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang