XLIX

278 61 0
                                    

"El"

"El, bangun!"

"El, bangun! Kita sudah mau sampai!" suara ayahku mengganggu tidurku.

Kepalaku sakit. Tubuhku tak begitu nyaman mengingat aku tertidur di kursi mobil belakang. Aku segera duduk dan memegangi kepalaku.

"Nghh,... sudah sampai mana?" tanyaku pada ayahku yang fokus menyetir.

"Sebentar lagi. Kau akan habiskan sisa liburan musim panasmu di sini kan?" tanyanya disusul anggukanku.

Hari ini aku akan pergi ke rumah ibuku dan adikku, David, untuk menghabiskan sisa liburan musim panasku. Sudah cukup lama semenjak aku melihat mereka, jadi kupikir, menghabiskan waktu di sini tak buruk juga.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku sampai. Angin sepoi-sepoi meniup beberapa bunga dandelion. Ibuku menyambutku dengan hangat, dan David memilih untuk melontarkan ejekan sebagai sapaan. Aku berlari mengejarnya, mengulang masa kecil.

Sore hari, aku dan David memilih untuk bermain di danau dekat rumah sementara ibu sibuk membuat camilan. Kami hanya duduk di pinggiran sebelum akhirnya ia mengatakan ide bodohnya.

"El, bagaimana kalau kita lomba berenang? Yang sampai ke ujung sana jadi pemenang. Yang kalah tak boleh makan camilan yang dibuat Mama" katanya mengusulkan, dibalas dengan tatapan remehku.

"Tidak mau. Aku sudah cukup lelah dengan perjalanan ke sini. Aku tak mau bajuku basah. Lagipula, danau itu terlihat kotor, banyak kuman" jawabku menolak.

"Huh, payah! Kalau begitu aku saja yang berenang" katanya sambil melepaskan kaosnya dan melompat ke danau.

"BYURRRR!" ia melompat. Cipratan airnya mengenaiku, membuatku kesal di sore hari yang indah ini. Tak lama kemudian, kepalanya muncul lagi.

"Ayolah, El! Ini segar!" katanya membujuk.

"No, no. Kau saja yang berenang. Aku hanya akan melihatmu dari sini" jawabku sambil melambai.

Ia kembali memasukkan kepalanya ke dalam air dan berenang. Satu detik, dua detik, tak juga keluar. Hingga akhirnya 10 detik, aku mulai merasa panik.

"David?" tanyaku pelan, memajukan tubuhku untuk melihat lebih dekat.

"David?!" aku mengulang memanggil namanya. Kalau ia berniat mengerjaiku, aku bersumpah, ini tidak lucu.

"DAVID?!!" teriakku mengeras. Mataku mencari ke segala arah sebelum akhirnya kutemukan gelembung-gelembung pada satu area di danau itu.

Aku semakin panik. Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat ke dalam air, mencoba menggapainya. Sesuatu menarik kakiku untuk masuk ke dalam, tenggelam. Aku mulai kehabisan nafas dan,...

"El"

"El, bangun!"

"El, bangun! Kita sudah mau sampai!" suara ayahku mengganggu tidurku.

Kepalaku sakit. Tubuhku tak begitu nyaman mengingat aku tertidur di kursi mobil belakang. Aku segera duduk dan memegangi kepalaku.

"Nghh,... sudah sampai mana?" tanyaku pada ayahku yang fokus menyetir.

"Sebentar lagi. Kau akan habiskan sisa liburan musim panasmu di sini kan?" tanyanya memastikan. Tunggu dulu. Ini terdengar familiar?

Tak begitu lama, akhirnya kami sampai di rumah ibuku. Aku berencana untuk menghabiskan sisa liburan musim panasku di sini, bersama ibuku dan adikku, David. Kepalaku masih agak pusing, tetapi entah mengapa kurasa ada yang tak wajar.

Angin sepoi-sepoi meniup beberapa bunga dandelion, yang anehnya, kurasa aku sudah melihatnya. Saat-saat ketika ibu menghampiriku dan menyambutku dengan hangat, atau saat-saat ketika David melontarkan ejekan padaku sebagai sapaan. Aku pernah melewati semua ini.

Siang ini ibu menyuruhku dan David untuk pergi ke toko, membeli beberapa bahan untuk membuat camilan. Aku dan David pergi ke jalan raya, dimana tempatnya cukup ramai, walau tak seramai tempat tinggalku bersama ayah di kota-kota metropolitan. Setelah pergi mencari beberapa bahan, seekor kucing putih menarik perhatianku. Aku mencoba menyapanya tetapi ia memilih untuk kabur.

"David, kau tunggu di sini. Aku tak akan pulang sebelum aku bisa mengelus kepalanya" kataku sambil bergegas mengejar kucing itu.

"El, tunggu!" katanya ikut mengejarku.

Aku masih berlari mengejar kucing itu, melewati orang-orang, melewati keramaian, dan melewati,... jalan raya?

Pikiranku kosong saat kulihat sebuah truk tepat di depan mataku. Ini akhir yang konyol. Aku tak ingin mati hanya karena ingin mengelus kucing. Jauh di dalam hati, aku berdoa agar aku tak mati hari ini.

"BUGHHH!" aku terdorong ke samping. Ia menggantikan posisiku. Truk itu tak mengerem dan David terpental ke depan, jatuh di aspal yang kasar, penuh darah.

Mataku membelalak. Aku berlari menghampirinya. Ia sudah terkapar bersimbah darah. Orang-orang mulai menghampiri, mengelilingi kami, melihat tragedi apa yang terjadi di depan mata mereka. Suara orang-orang bercampur aduk, memberikan rasa iba. Beberapa dari mereka mencoba menghubungi ambulans. Aku masih memproses apa yang terjadi, sebelum akhirnya mata David terbuka dan berbisik.

"Ini salahmu"

Lagi-lagi aku terbangun dengan keringat dingin. Cahaya matahari yang mulai terbenam dan langit jingga menyambutku sesaat setelah aku membuka mata. Deburan ombak itu terdengar jelas. Aku terbangun di atas pasir.

"El, kau tak apa? Kau mimpi buruk?" tanyanya. Ini aneh. Kenapa semuanya acak begini. Aku tak bisa membedakan kenyataan dengan ilusi.

"El, perhatikan aku baik-baik" kata David sambil bangkit dari duduknya. Ia pun berjalan mendekat ke arah ombak. Semakin lama, semakin jauh.

"Kau tahu, El? Terimalah. Pada akhirnya kau tak bisa menyelamatkanku" katanya sedetik sebelum ia menghempaskan diri ke dalam ombak.

Kepalaku sakit lagi. Ini memuakkan. Terjebak pada pikiranku sendiri. Semua pikiranku seakan menghina, membuktikan bahwa bagaimanapun, aku tak bisa menyelamatkan David. Pada akhirnya, dalam dunia manapun, dalam kesempatan manapun, malaikat maut akan datang dan mengambil nyawanya, tepat di depan mataku.

Dingin. Seluruh tubuhku dingin. Salju masih turun di luar sini. Aku mencoba membuka mataku, hanya mata kiriku yang bisa melihat. Kepalaku terasa seperti mau meledak. Aku terbatuk pelan dan menggigit lidahku sendiri.

"Ia benar. Pada akhirnya,... aku tak bisa menyelamatkannya"

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang