Aku kali ini benar-benar membeku, masih berdiri dan mengedipkan mataku beberapa kali. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan. Ex pasti mendengarnya, bukan?
"Siapa?" kata Ex. Sudah kuduga.
"Um..." aku bergumam tak jelas. Shit, harusnya kuceritakan saja dari dulu.
"Liana Rox-el?" Ex mencoba memastikan.
"Iya?" aku reflek menjawab pelan. Hening. Ex terlihat kecewa.
"Kukira namamu hanya 'El', Mam..." katanya memelan.
"Ex, aku-" belum selesai bicara, ia sudah memotong.
"Kukira pada akhirnya aku menemukan orang yang kehilangan namanya- dan... uh, kurasa kau hanya iba, sama seperti yang lainnya" katanya membuatku terpojok. Astaga, ini jadi semakin rumit.
"Berhenti, Ex. Kau tau, bukan itu maksudku. Itu hanya nama-" ups, aku salah memilih kata. Astaga, aku ingin mati saja.
"Hanya nama? Mam, kau tak tau rasanya kehilangan semuanya. Kau tak tau betapa frustasinya aku saat mencoba mengingat namaku sendiri. 'Ex', hanya itu yang kuingat. Hanya kata itu yang bisa kupegang sebagai identitasku. Dan kau bilang ini hanya perkara nama?" kata Ex. Ia kecewa. Matanya berbinar.
"Ex-" aku benar-benar ingin memberitahu semuanya, tapi kenapa tak satupun kata keluar dari mulutku? Kenapa kenyataan tentang Ex tak bisa kuteriakkan saja sekarang? Kenapa mulutku bungkam?
"Mam, kau tak mengerti" katanya sambil melewatiku, mencoba keluar ruangan dan melangkah pergi.
"Sekarang, El, sekarang. Sekarang atau kau akan kehilangannya. EL, KATAKAN SAJA, BRENGSEK!" kini batinku bahkan bersumpah serapah pada diriku sendiri.
Ex semakin menjauh. Ia mencoba membuka pintu ruangan dengan langkahnya yang berat. Sesekali tangannya menyentuh wajahnya, mencoba mengusap air matanya. Sedangkan aku kini hanya berdiri mematung seperti orang bodoh. Apa aku harus kehilangan lagi? Apa aku harus membiarkan ia merasakan kehilangan lagi?
"ALEXA MAY, BERHENTI DISANA!" teriakku kencang melepaskan seluruh beban besar yang sedari tadi mengganggu pikiranku.
Hening. Aku menghela nafas berulang kali, terengah-engah. Langkah Ex terhenti tepat sebelum ia membuka pintunya. Kami hanya diam mematung untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia berbalik dan menatapku.
"Huh?" tanyanya bingung. Hidungnya sedikit merah sehabis menangis.
"Kau,... kau Alexa May" kataku gemetaran. Kenapa aku yang gemetaran, yah? Aku bahkan bukan sedang menyatakan cinta.
"Huh?" tanyanya seperti tadi. Bedanya, kali ini ia mulai memegang kepalanya.
"Tahan ini, tapi dengarkan aku, Ex. Namamu Alexa May, putri dari Ruby May. Kau kecelakaan pesawat dan kehilangan ibumu. Kakekmu membuat cakram baja dan memberikannya padamu. Nenekmu adalah seorang nenek yang baik yang senang membuat kue-" kataku tanpa henti.
"MAM BERHENTI, MAM" kata Ex keras sambil memegang kepalanya. Ekspresi wajahnya berubah kesakitan.
"EX PAKSAKAN SEMUANYA. KAKEK DAN NENEKMU MASIH HIDUP. TN. JONATHAN DAN NY. DAISY ADA DI SINI!" semakin aku berbicara, Ex semakin terlihat kesakitan. Ia memegang kepalanya dengan keras, hampir menjambak rambutnya sendiri. Ia mulai menangis lagi. Kenapa ini terlihat seperti pengusiran setan, yah?
"DEG!"
Mata Ex membelalak. Ia ambruk dan terduduk, masih sambil memegangi kepalanya. Otaknya masih memproses semuanya sampai akhirnya sebuah cahaya benar-benar menyadarkannya, memaksa kembali kenangan yang hilang, mengingatkannya akan kenyataan.
"Aku,... ingat" gumamnya masih membelalak.
Aku masih berdiri, menatapnya yang seperti mendapatkan ilham. Ia masih terduduk, melamun. Mulutnya terbuka sedikit. Ia benar-benar tak mengucapkan apa-apa lagi selain dua kata itu sebelum akhirnya ia- pingsan.
.
.
.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah 8 malam, dan Ex belum juga sadar dari pingsannya. Aku hanya duduk di sofa ini sambil termenung, mencoba menolak kontak mata dengan David. Ia ada di sofa yang lain, di sebrang sofa yang kududuki. Kalau kalian bisa melihat lebam biru di tulang pipiku, itu ulah David. Ia memukulku cukup kencang. Dan kalau kalian lihat sebuah gigi dalam kotak kecil di atas meja di antara kami, itu gigi David. Aku membalas tinjunya cukup kencang juga, atau mungkin sedikit lebih kencang.
Kami hanya melamun dan cemberut selama lebih dari setengah jam. Berkelahi dengan adik memang hal yang biasa, tapi saling meninju sambil sumpah serapah adalah yang pertama bagiku. Sebelumnya kami tak saling meninju, mungkin sedikit mencakar dan menggigit, tapi kami tak bermain tinju. Dan kini, kami hanya berdiam dan- um... bisa dibilang bermusuhan.
Aku melipat lenganku di dada, sesekali melirik David sepersekian detik dan kembali memalingkan wajah. Aku menghela nafasku panjang. Sebenarnya aku tak suka begini, tapi apa boleh buat. Aku memang memakan kuenya, tapi mendapat tinju di wajah bukan hal yang kuharapkan. Apalagi dengan sedikit darah yang keluar dari hidungku, membuatku benar-benar tak mau memulai percakapan dengannya.
Aku kembali meliriknya, mencuri pandang, sebelum aku sadar ada secarik kertas yang terbaring di meja di antara kami, yang sebelumnya tak ada di sana. David menghadap ke arah sebaliknya, tapi tangannya memegang pena yang cepat-cepat ia simpan di meja. Aku termenung, mencoba berpikir untuk mengambilnya atau tidak. Namun rasa penasaranku mengalahkan semuanya. Aku memalingkan wajahku, namun tanganku berusaha meraba secarik kertas dan pena itu.
"Tap... tap..." aku masih meraba. Kenapa aku tak menemukannya, sih?
Aku mencoba melirik sekali lagi. Yang kutemukan adalah David yang mencoba memindahkan kertas dan pena itu ke segala penjuru meja. Sadar aku melihatnya, ia langsung memalingkan wajah lagi.
Aku mengambil secarik kertas itu dan mulai membacanya.
"El, aku tak suka menjadi ompong"
"Pfffttt" aku bersumpah kalau bukan karena rasa gengsiku, aku sudah tertawa keras sekarang.
Aku mengambil pena dan mulai menulis kalimat di balik kertas itu.
"Maaf, nanti kubuatkan kue yang baru seperti buatanmu tadi"
Setelah menulis kalimat tersebut, aku menyimpan kertas dan pena di atas meja. Ia langsung menyambarnya. Aku memalingkan wajah, namun masih meliriknya untuk melihat reaksinya. Ia tersenyum kecut dan mulai menulis lagi. Hanya beberapa detik, ia mengembalikannya ke meja. Aku mengambilnya tanpa ragu-ragu dan mulai membacanya. Sebuah tulisan kecil di bawa balasanku membuatku sedikit kesal.
"Tidak perlu, kau dan aku tau kau tak bisa masak"
Aku sedikit kesal dengan jawabannya, tapi aku tak punya alasan untuk menyangkalnya. Well, aku memang tak bisa masak.
Semua terasa lebih ringan sekarang. Ia tak memalingkan wajahnya lagi, namun masih tak ingin mengajakku mengobrol langsung, lagipula-
"AAAAAKKKK KAKEKKKKK!" sebuah teriakan terdengar jelas dari sebuah kamar. Kurasa itu Ex.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death 2 : Illusion
Adventure(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu sebuah berkah atau kutukan. Tapi demi apapun, aku lebih memilih mati dibanding berubah menjadi makhluk mengerikan bernama Zombie itu. Perja...