I

1.5K 134 4
                                    

Kepalaku pusing. Tubuhku rasanya sakit semua. Aku berusaha mengucek mataku, memastikan apa yang sedang terjadi. Namun percuma, menggerakan tangan saja aku tak kuat. Saat pengelihatanku sudah mulai membaik, aku sadar bahwa tanganku, ah tidak, sepertinya hampir semua tubuhku terbalut perban. Rasanya sudah seperti mumi hidup.

  “Dimana aku?” tanyaku dengan suara amat pelan. Aku sendiri ragu orang lain bisa mendengarnya.

  ”Mam?” tanya seseorang pelan sambil mulai menghampiriku. Siapa dia?

  “Ng… siapa?” tanyaku pelan.

  “Mam? Ini aku, Mam!” ia meninggikan suaranya.

  “Siapa? Aku rasa aku tak pernah mengenalmu” jawabku pelan sambil menatapnya. Ekspresinya berubah kaget. Ia mulai menangis.

  “HUAAAAAAA HUHUHU” ruangan ini dipenuhi oleh suara tangisannya yang terbilang kencang itu. Apa yang salah dengan gadis itu?

  “Ada apa, Ex?” seseorang datang dari balik pintu. Seorang pria tinggi berbadan tegap yang terlihat panik.

  “Oh? El? Kau sudah sadar?” tanyanya padaku.

  “Ah iya. Siapa kau? Darimana kau tau namaku?” tanyaku bingung.

Pria muda itu membeku. Ia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Ekspresi wajahnya tegang, sepertinya ia shock.

  “Ex, apakah ia be-begitu juga pada---mu?” tanya pria itu seperti tak percaya.

  “IYAA HUAAAA! MAM TAK MENGENALIKU” lagi-lagi gadis itu menangis sambil berteriak. Membuat kepalaku semakin pusing.

  “Ada apa ini?!” teriak seseorang dari balik pintu. Ugh, mengapa begitu banyak orang yang datang?

  “Kurasa ada yang salah dengan El” kata pria yang berbadan tegap pada anak yang terlihat lebih muda. Wajahnya cukup imut.

  “Hah? Maksudmu?” tanya anak itu.

  “Sepertinya kepalanya terlalu keras membentur aspal hingga dia lupa siapa kita” jawab pria berbadan tegap. Apa yang mereka bicarakan?

  “Oh ayolah, kurasa El cuma bercanda” jawab anak itu enteng.

  “Coba saja sendiri” tantang pria berbadan tegap. Tunggu, aku ini objek atau apa?

  “El, ayolah. Kau tak sungguh-sungguh kan?” tanya anak itu.

  “Apanya? Kau siapa?” tanyaku bingung.

  “El jangan bercanda” katanya masih tersenyum.

  “Apanya yang bercanda? Aku benar-benar tak tau apa yang kalian bicarakan sekarang” jawabku mulai sedikit kesal.

  “El, kumohon” jawab anak itu dengan mata sedih. Kurasa kali ini ia hampir menangis.

  “Dengar, aku tak tau siapa kalian. Bahkan aku tak tau aku berada dimana sekarang dengan keadaan begini. Badanku sakit semua. Aku akan menghargai kalian kalau kalian bisa memberiku waktu istirahat” jawabku.

Aku sendiri tak tahu harus jawab apa karena ini benar-benar sangat membingungkan. Anak laki-laki tadi terlihat kaget, ia memalingkan wajahnya.

Mereka menatapku dengan tatapan yang sulit dicerna. Beberapa diantara mereka menghela nafas panjang.

  “Kemana Fauzia dan Hani?” tanya gadis yang tadi.

  “Entah. Mungkin mencari obat atau semacamnya” jawab anak laki-laki itu.

Setelah percakapan singkat itu, mereka semua keluar ruangan, meninggalkan aku sendirian. Aku berbaring, menatap langit-langit. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku ada disini? Siapa mereka? Pertanyaan-pertanyaan muncul dibenakku. Aku sendiri sebenarnya samar-samar pernah melihat wajah mereka. Gadis itu, pria tegap itu, anak itu, rasanya wajah mereka tak asing. Aku menghela nafas panjang sambil menatap tanganku yang terbalut perban. Mungkin aku benar-benar butuh istirahat.
.
Aku membuka mataku perlahan. Masih di ruangan yang sama, masih di tempat tidur yang sama, masih dengan keadaan yang sama. Beberapa saat setelah aku sadar, seseorang berambut ikal dan berbaju putih masuk. Ia tampak membawa peralatan kedokteran.

  “Siapa?” tanyaku padanya.

  “Um,.. aku dokter disini” jawabnya sambil sibuk membereskan alat-alatnya. Ia bahkan tak menatapku.

  “Apa yang terjadi padaku?” tanyaku padanya saat ia mulai memegang kakiku, mencoba melepaskan perban yang membalut kakiku.

  “Kau jatuh dari lantai tiga, menabrak kaca dan membentur aspal dibawah” jawabnya mencoba untuk tenang.

  “Um,.. yeah, kedengarannya memang seperti aku” jawabku sebenarnya bingung.

  “Kau terkena gegar otak tingkat 3, pendarahan pada kepala dan hidung, beberapa tulang patah, dan tampaknya sekarang kau amnesia” jawabnya sambil menghela nafas. Pandangannya seperti mengasihaniku.

  “Benarkah?” tanyaku sedikit tak percaya. Maksudku, aku mengakui kalau tubuhku sakit semua, tapi aku tak menyangka kalau separah itu.

  “Lihat, aku bahkan harus mengamputasi jari kakimu” katanya segera setelah perban di kakiku terlepas. Oh Tuhan, dimana ibu jari kakiku?

  “Um…” aku sebenarnya bingung mengatakan apa, tapi aku tak terlalu suka suasana hening.

  “Tapi aku bersyukur kau masih bisa bertahan. El, bertahanlah” jawabnya sambil tersenyum.

  “El bertahanlah”

  “El bertahanlah”

  “El bertahanlah”

  “El bertahanlah”

Tunggu, mengapa ini semakin membuatku pusing. Kata-kata itu seakan menjadi banyak, terngiang-ngiang di kepalaku. Gelap. Mengapa semua menjadi gelap?

Kemana semua perban itu? Kenapa aku bisa berdiri? Bukannya tadi aku sedang berbaring di suatu ruangan? Kenapa badanku tak sakit lagi?

Ah, ada cahaya di ujung sana. Aku harus mencapainya. Aku berlari dan terus berlari. Ugh, silau. Seperti mentari berada di hadapanku. Aku melihat mereka. Gadis itu, pria berbadan tegap, anak laki-laki itu, dokter, dan beberapa orang lainnya. Mereka sedang duduk di padang rumput sambil tertawa. Siapapun yang melihat pasti tahu kalau mereka sedang berbahagia.

  “Permisi” ucapku pelan.

Mereka mulai menatapku. Pandangan mereka terlihat kaget dan takut. Dan dari balik sana, muncul seseorang. Tunggu, itu aku? ITU AKU! Bagaimana mungkin aku bisa disana? Padahal jelas-jelas aku sedang berada disini. Siapa dia?

Gelap. Semua menjadi gelap. Ah baru kali ini aku sangat membenci kegelapan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apa yang terjadi padaku? Apa yang terjadi pada semuanya.

Cahaya muncul lagi, kali ini dari arah lain. Gadis tadi muncul. Ia menangis.

  “Mam, ini aku Ex” katanya sambil menangis. Ia mengusap air matanya dengan tangannya.

  “Ex?” tanyaku.

  “El, ini aku. Apa kau tak mengenali adikmu sendiri?” anak laki-laki itu muncul dari arah lain.

  “David?” tanyaku bingung. Tunggu, sepertinya aku ingat sesuatu.

  “Mark?” tanyaku saat pria berbadan tegap itu ikut muncul.

  “El maafkan aku” ucap Mark sedih. Sedetik setelahnya, ia mendorongku kencang. Aku terjatuh, benar-benar jatuh. Atau mungkin melayang? Aku bahkan tak tahu kapan aku sampai di dasarnya. Rasanya seperti aku terjatuh tanpa henti. Dan akhirnya…

  “BRUGH!” aku terjatuh kencang. Tunggu tak terasa sakit? Dimana ini? Lubang? Tunggu sebentar, aku terjatuh di liang lahat?

  “AAAAAAAK!!” aku menjerit ketakutan. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh disini. Ex, David, Mark, Jesica, Fauzia, Hani, dan orang-orang lain muncul, mengintip dari atas. Mereka menangis kencang. Sangat kencang.

  “El huhuhu”

  “El!”

  “Mam!”

  “El jangan pergi”

  “El, selamat tinggal…”

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang