XXVII

501 78 5
                                    

            Kami berpencar untuk mulai berlatih. Mark dan David jalan lebih dulu ke arah kiri, disusul oleh keluhan David yang merasa Mark berjalan terlalu cepat. Ex dan Ri jalan bersama ke arah tengah dengan wajah Ri penuh dengan senyum. Biarlah, sekali-kali Ri merasakan kebahagiaan. Dan aku, mulai berjalan pelan ke arah kanan dengan Tn. Jonathan yang menunggangi kudanya. Aku mengeluarkan gergaji mesinku dari kainnya, menatapnya. Ah, aku sayang gergaji mesinku.

"Kau membuatnya?" kata Tn. Jonathan sesaat setelah ia melirik gergaji mesinku.

"Tidak. Aku menemukannya di belakang rumah lamaku, dan seorang professor yang menyebalkan memodifikasinya" kataku jujur sambil terus berjalan pelan.

"Dahulu aku dikenal sebagai pembuat senjata yang handal. Di tengah tengah kekacauan zombie 50 tahun yang lalu, aku bertemu Pou Pou yang sekarang menjadi istriku. Ia banyak membantuku membuat senjata karena ia tahu banyak tentang mesin" kata Tn. Jonathan mulai bercerita.

"Lalu?" tanyaku. Mungkin kalian mengira aku tak peduli, tapi aku benar-benar tertarik. Hanya saja aku tak tahu apalagi yang harus kukatakan.

"Begitulah. Kami menikah setelah kekacauan berakhir, memiliki seorang anak tunggal yang cantik bernama Ruby May. Dia anak yang pemalu, tapi aku bersyukur akhirnya ia menikah dengan pria yang baik. Ia memiliki anak yang cantik juga bernama Alexa. Dan sebagai hadiah, aku dan Pou Pou bekerja sama untuk membuatkannya sepasang cakram baja" katanya. Tunggu, CAKRAM?

"Wow wow wow, tunggu. Maksudmu, cakram yang bulat? Yang- benar-benar cakram?" tanyaku kaget. INI SEMUA AKAN TERUNGKAP.

"Cakram yang bagaimana lagi, bodoh? Ya cakram, cakram saja" kata Tn. Jonathan tak habis pikir.

"Sir, ingat saat aku bilang ada hal yang harus kuberi tahu? Aku akan memberitahunya sekarang" kataku serius, masih sambil berjalan.

"Ceritalah" kata Tn. Jonathan.

"Kekacauan ini bermula karena aku yang ceroboh, membuka segel zombie itu hanya karena penasaran dengan buku kakekku. Singkat cerita, aku berpisah dengan adikku karena aku terlalu keras kepala dan aku bertemu dengan seorang anak yang lebih muda dariku, dan dia adalah Ex" kataku bercerita.

"Ohoho, anak yang memanggilmu 'Mam' itu?" tanya Tn. Jonathan sambil mengingat-ingat.

"Yeah, yang itu. Dia kehilangan ibunya saat kecelakaan pesawat dan ia mengalami amnesia. Satu-satunya yang ia ingat adalah wajah ibunya. Ia bahkan tak bisa mengingat nama ibunya, atau nama lengkap dirinya" kataku. Teka-teki ini mulai terpecahkan.

"El, kau-" kata Tn. Jonathan terpotong.

"Jangan dulu. Jangan berkomentar apa pun. Aku sedang mencoba mneyambungkan rantai yang terputus ini. Ex bertemu denganku dan langsung memanggilku 'Mam' karena ia pikir aku terlihat seperti ibunya saat muda. Dan kau juga berpikir aku terlihat seperti anakmu" kataku penuh penekanan.

"Dan buku milik kakekku menunjukkan bahwa 'Ex, kau akan tahu kebenarannya'..."

"Dan ia memiliki warna mata yang sama dengan warna mata istrimu"

"Dan kau tahu sesuatu, Tuan?" kataku terus menerus tanpa henti.

"Um-" belum selesai ia bicara, aku memotong lagi.

"SENJATA MILIKNYA ADALAH CAKRAM YANG DIBUAT OLEH KAKEKNYA!" teriakku penuh penekanan. Selesai. Misteri ini terpecahkan. Ini semua akan segera berakhir.

"Aku- aku tak bisa berkata-kata. Aku yakin aku mengenal Ex saat pertama kali aku melihatnya. Oh Tuhan" katanya dengan suara bergetar.

"Sir..." kataku pelan.

"Oh Tuhan.... Cucuku masih hidup..." katanya sambil berusaha turun dari kudanya.

"El, terimakasih. Aku tak tau siapa kau, tapi, terimakasih banyak" katanya sambil menggenggam satu tanganku dengan kedua tangannya. Aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Yang kutahu adalah, pria tua di depanku terlihat seperti ingin menangis karena bahagia.

Waktu berlalu. Kami terus berjalan ke arah perbatasan lembah sambil berbagi banyak cerita. Ia dengan masa muda dan zombie, aku dengan masa sekarang dan,... zombie juga. Dan, well, siapa yang tahu bahwa orang ini adalah teman dekat kakekku, Daniel Reinhart saat kekacauan zombie 50 tahun yang lalu?

Langit semakin sore. Aku baru sampai di perbatasan lembah ini. Kuyakin yang lain sudah lebih dulu berlatih mengingat langkah mereka semua terbilang cepat. Dan lagi, mereka tak akan berbicara panjang lebar selagi berjalan. Aku memantapkan hatiku, menyalakan gergaji mesinku, dan berlari mencari zombie-zombie itu. Wajahku tersenyum lebar, tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. Padahal kalau dipikir-pikir, belum sejam yang lalu aku merasa sangat gugup. Tapi entahlah, mengungkap misteri Ex membuatku sangat senang. Ini artinya, perjalanan kami akan segera berakhir. Tak ada lagi zombie, tak ada lagi kekacauan. Aku hanya ingin hidup tenang seperti sedia kala.

Perbatasan ini terlihat lebih sunyi dengan cahaya kuning khas sore hari. Mobil kami masih terparkir di situ. Di depanku nampak jalanan memanjang dengan kedua tebing yang tinggi yang kian melebar. Udaranya terasa lebih dingin di banding di desa. Aku berjalan pelan mengikuti jalanan aspal ini. Hanya suara nafas dan tapak kaki kuda milik Tn. Jonathan yang terdengar. Sesekali ia menyalakan rokoknya sambil terus mengawasi sekitar.

Aku menenangkan diri. Kutatap gergaji mesinku yang sudah bersiaga. Tapi apa yang kudapat? Hanya hening dan hembusan angin yang seolah mengejekku. Ah sial. Aku tak tahan.

"Sir. Kurasa kita tak akan menemukan zombie di sini. Langit semakin sore dan aku tak akan punya kesempatan untuk menguji kekuatan senajataku" kataku agak kesal.

"Kalau kau tahu apa yang akan terjadi, kau pasti akan memilih hidup dalam keadaan ini. Hanya bersiaga walaupun tak ada apa-apa" jawab Tn. Jonathan dengan senyum remehnya, mengejek aku yang kurang bersyukur dan terkesan menantang zombie-zombie itu.

"Lebih baik aku bertemu zombie-zombie keparat itu langsung daripada tak jelas begini" kataku kesal. Kali ini, aku memang menantang.

"Hohohohoho... Boleh juga nyalimu nak. Kalau kau mau, tarik lah perhatian mereka dengan suara" kata Tn. Jonathan tak habis pikir.

"AAAAAAAKKK!!" teriak Tn, Jonathan ke sepanjang jalanan kosong, membuat suaranya bergema.

"Sekarang giliranmu" kata Tn. Jonathan menantangku.

Aku tersenyum remeh. Aku menekan tombol kecil di sebelah tali penarik di gergaji mesinku. Seperti yang sudah kuduga-

"AY AY AY"

"I'M YOUR LITTLE BUTTERFLY"

"GREEN, BLACK, AND BLUE"

"MAKE COLORS IN THE SKY"

Suaranya terdengar jauh lebih keras dibanding speaker lama di rumahku, bergema di sepanjang jalan. Aku tersenyum bangga. Padahal, saat pertama kali aku mengetahui mode ini pada gergaji mesinku, aku sangat marah dan hampir membunuh professor sialan itu. Ah, mode ini berguna juga.

"BWAHAHAHAHAHAHA!! APA-APAAN ITU, NAK?!" tawa Tn. Jonathan meledak mendengarnya.

"Entahlah. Aku juga tak tahu" gumamku sesaat setelah lagunya berhenti.

"Ahahaha... ha... ha... aduh aku lelah tertawa. Siapapun professor yang memodifikasi senjatamu, aku menghargainya. Aku akan mencoba membuat senjata seperti ini nanti" kata Tn. Jonathan tampak bahagia. Eh? Kenapa pula kami bahagia di saat-saat seperti ini.

"Sekarang, mari kita hajar keparat-keparat itu!" teriak Tn. Jonathan memacu kudanya, diikuti aku yang berlari di belakangnya. Aku siap. Untuk apapun, aku siap. Aku tak pernah merasa sesemangat ini untuk membunuh. Cukup aneh memang, tapi... siapa yang tahu?
Aku kembali menekan tombol pada gergaji mesinku. Lagu 'Butterfly' itu kembali terdengar kencang. Samar-samar suara raungan yang bergemuruh itu mulai menghampiri aku dan Tn. Jonathan. Beberapa saat setelah aku menarik nafas panjang, zombie-zombie sialan itu pun muncul. Perutku terasa mual mengingat sudah cukup lama aku tak melihat makhluk menjijikkan itu. Wajah mereka hancur berantakan. Bahkan mata dari beberapa zombie itu terlihat seperti akan melompat keluar. Aku sedikit panik tapi aku telah menguatkan tekad untuk tetap menghancurkan mereka. Lagipula, itu memang tujuanku dari awal, kan?

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang