XVIII

515 87 2
                                    

  "Hm? Entahlah. Kurasa situasi ini sudah tak asing lagi" kataku masih menatap ke depan.

"Jadi, apa yang membuatmu diam sendiri di tengah malam seperti ini, Tuan Putri?" tanyanya.

"Berhenti memanggilku begitu. Kau tau, itu terdengar menggelikan" jawabku sambil terkekeh.

"Tapi kau benar-benar seperti tuan putri, El. Maksudku kau senang memerintah dan berbuat semaumu" katanya jujur.

"Hm... itu terdengar sepertiku" jawabku mengakui.

"Jadi, apa yang membuatmu diam disini, El?" tanyanya.

"Entah. Aku juga tak yakin apa yang sedang aku lakukan. Aku hanya tak bisa tidur lagi karena mimpi buruk" jawabku.

"Kurasa kau sering mengalami mimpi buruk akhir-akhir ini" katanya.

"Yeah, kurasa juga begitu. Terkadang semua terasa mimpi buruk bagiku. Bahkan pantai indah ini atau mungkin ombak yang menggulung-gulung ini terasa ingin menarikku. Seperti mereka mengintaiku" jawabku sambil terus menatap ke laut.

"Sedangkan kau, Mark? Apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini? Bukankah kau harus mengisi energimu untuk menyetir besok? Kau tau sendiri aku tak akan menggantikanmu menyetir, kan?" tanyaku padanya.

"Sebaiknya kau tanyakan itu pada adikmu. Aku tak bisa tidur karenanya" jawabnya.

"Eh? Apa yang adikku lakukan padamu?" tanyaku bingung.

"JANGAN-JANGAN?" tanyaku dengan wajah memerah. Eh tunggu? Apa yang sedang aku pikirkan?

"Adikmu tak bisa tidur dengan rapih, El. Ia terus-menerus menendangku walaupun aku sudah berusaha pindah tempat. Bahkan terkadang, tangannya memukul wajahku. Bagaimana aku bisa tidur nyenyak dengan keadaan seperti itu? Aku bersyukur karena Ri cukup sabar menanganinya" ia menggerutu.

"Ah, kurasa aku bisa membayangkannya, Mark. Ia memang selalu seperti itu. Itulah mengapa saat kecil ibu memilih untuk membeli kasur tingkat. Tentu saja, aku yang di atas. Tapi setelah aku dan ayah pergi, kurasa ibu memberikannya kamar baru" kataku.

"Ng? Ayahmu?" tanyanya heran.

"Ya begitulah, ayahku--- HATCHI!" aku bersin sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

"El, kau harus kembali ke tenda. Udaranya semakin dingin" kata Mark sambil memegang pundakku.

"Baiklah" jawabku sambil berdiri dan membenarkan kantung tidurku. Akupun mulai melompat-lompat untuk kembali ke tenda.

"Dasar bodoh" gumamnya sambil mengangkatku. Kini kakiku ada di depannya sedangkan kepalaku menghadap ke belakang. Kau tahu saat seorang kuli membopong sekarung beras di pundaknya? Kurasa sekarang aku berasnya.

"HEY SIAPA YANG KAU PANGGIL BODOH" teriakku sambil menggoyang-goyangkan kakiku, berharap ia akan menurunkanku.

"Dasar kau ini" katanya sambil menurunkanku tepat di depan tendaku. Aku pun bergegas masuk ke dalam dan melanjutkan tidurku. Selamat malam.

Pagi hari pun tiba. Aku mengucek mataku dan bergegas memakai kacamataku. Tanpa basa-basi, akupun langsung membuka tenda untuk melihat pemandangan pantai di pagi hari. Seperti yang kuduga, indah. Langitnya biru dan hampir tak ada awan yang menutupi langit pagi ini. Ombaknya tak sebesar kemarin, dan ini adalah waktu yang tepat untuk berenang. Um, maksudku untuk yang lain berenang. Kau tahu, aku bahkan masih memakai kantung tidurku.

Aku bergegas keluar tenda dan melompat lebih dekat dengan air laut. Burung-burung sudah siap lebih awal dibandingkan denganku. Kurasa David masih tidur karena aku tak melihatnya diluar sini, tapi aku tak yakin dengan Mark. Ia selalu bangun pagi-pagi. Entahlah, siapa yang peduli.

"Mam?" tanya Ex sambil menghampiriku.

"Mam terlihat seperti ulat bulu" katanya sambil terkekeh.

"C'mon, Ex. Ini masih pagi dan hal pertama yang kau ingin beritahu padaku adalah aku terlihat seperti ulat bulu?" tanyaku padanya.

"Kenapa kau masih memakainya, Mam?" tanyanya.

"Ia ingin terlihat seperti ulat bulu" ucap Mark berjalan dengan Ri sambil membawa ember kaleng.

"YA TUHAN. Baiklah baiklah, aku buka!" kataku sambil membuka kantung tidurku. Aku sudah muak dengan lelucon ulat bulu ini.

"Ulat bulu berubah menjadi kupu-kupu" kata Mark pelan.

"Kau bilang apa Mark?" tanya Ex memastikan.

"Aku bilang aku dan Ri akan mencari ikan" katanya sambil berbalik arah, disusul oleh Ri di belakangnya.

"Oke, baiklah. Cari yang banyak!" teriak Ex sambil melambaikan tangannya.

Aku menyimpan kantung tidurku di dalam tenda terlebih dahulu sebelum aku menuju tenda David. Mengganggu adik yang sedang tertidur benar-benar menjadi kepuasan tersendiri.

Aku masuk ke dalam tenda dan melihatnya masih berbaring acak-acakan di dalam. Kurasa ia tidur dengan nyenyak. Ah, aku bahkan bisa melihat air liur menetes dari mulutnya. Menjijikkan. Tapi aku tak bisa menyangkal bahwa ia menggemaskan.

"David, bangun" kataku sambil menarik-narik pipinya. Ia terlihat seperti cumi-cumi goreng.

"..." ia tak menjawab. Mungkin hanya ada dengkuran-dengkuran halus yang keluar dari mulutnya.

"David, bangun" ucapku lagi sambil terus menggoyang-goyangkan tubuhnya, berharap ia bangun.

"Ngh... tak bisakah kau memberikan aku ketenangan, El?" tanyanya sambil melenguh. Ia terlihat masih ingin tidur. Aku tak mengerti bagaimana ia bisa tidur seperti ini. Aku bahkan tak tahu dimana ia menendang kantung tidurnya.

"Ayo ayo bangun, David. Semangat pagi semangat pagi" kataku dengan nada riang. Ah, kau tahu kan bahwa sekarang aku sedang mengganggunya?

"Mmmh... semangat pagi pantatmu, El. Pantatmu bahkan tak semangat pagi" katanya tak karuan. Kenapa ia jadi membicarakan pantatku?

"HEY HEY INI TAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN PANTATKU" aku memberi penekanan, "Ayo David, bangun! Kau harus sarapan dan berangkat sekolah" kataku sambil mencubit hidungnya.

"ARGGGGHHH EL! C'MON! Kenapa kau senang sekali menjahiliku, sih?" tanyanya sambil langsung duduk, tak tahan dengan perlakuanku.

"Aih galaknya, ahahahahaha! Baiklah baiklah aku tak akan mengganggumu. Selamat tidur adik kesayanganku! Kuharap kau tak keberatan bila aku mengambil jatah sarapanmu!" seruku sambil bergegas keluar tenda.

Aku berlari mendekati air laut, membiarkan kakiku tersapu ombak pelan. Tak ada kapal disini mengingat keadaan dunia sudah kacau. Tapi... mungkinkah ada korban selamat di ujung laut sana? Di suatu tempat yang kami belum bisa lihat? Di tempat yang entah ada atau tiada? Mungkinkah ada satu tempat yang aman dari wabah virus zombie ini? Yang seluruh penduduknya hidup aman damai tanpa terkena atau bahkan tanpa tahu ada kekacauan disini?

Aku berdiri mematung, berusaha berpikir. Bukankah mencari tempat aman yang jauh dari kekacauan jauh lebih mudah daripada mencoba membereskan dan mengembalikan ke keadaan semula? Tak bisakah kita hanya tinggal disini? Di pesisir pantai yang kurasa tak ada zombie di sekitar sini? Haruskah kami melanjutkan perjalanan dan mempertaruhkan nyawa kami saat kami bisa hidup tenang disini? Haruskah kami menunggu 'Dayne' yang lain? Ataukah kami harus menunggu salah satu diantara kami mengalami nasib yang sama sepertiku? Jatuh dari atas gedung dan tak sadarkan diri untuk beberapa hari, bahkan mungkin bisa lebih parah. 

Pikiran-pikiran itu terus mengganggu kepalaku. Masuk akal memang, tapi disisi lain tak ada yang bisa menyelesaikan perjalanan ini selain kami. Disisi lain, tanggungjawab karena telah menimbulkan kekacauan ini membebaniku. Perang batin antara setan dan malaikat di hatiku mulai terjadi. Dan kini, aku, manusia yang tentu banyak berdosa masih bingung dengan apa yang aku lakukan. 

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang