XV

530 83 3
                                    

Beberapa jam terlewati. Kurasa sekarang sudah lebih dari jam 4 sore, entahlah. Anginnya terasa seperti sore hari. Segalanya terasa menjenuhkan, sampai kami melihatnya.

  “DEG! Pantai?”

Entah mengapa jantungku berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang salah disini. Ada sesuatu yang tak seharusnya terjadi di tempat bernama pantai ini.

Aku mencoba menenangkan diri, menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Walau aku tahu ada sesuatu yang membebaniku, aku mencoba untuk melupakannya. Mungkin ini hanya sekedar pikiranku saja.

  “Kurasa itu laut” kata Mark sambil terus menyetir. Aku sendiri bisa melihat sedikit garis biru di ujung sana. Bahkan samar-samar aku bisa mendengar deburan ombak yang menghantam karang.

  “Hei bangun, bangun, kurasa kita menuju pantai” kataku sambil menoleh ke belakang, mencoba membangunkan David, Ex, dan Ri.

  “Huh?!” ucap David tiba-tiba. Ia langsung terbangun.

  “Benarkah?!” kata Ex tiba-tiba. Kurasa ia senang.

  “Aku akan menunjukkan kemampuan berenangku pada kalian” kata David bangga.

  “Mari kita lihat apakah kau bisa mengalahkanku, bocah!” kata Mark semangat. Ah, kurasa David akan mati tenggelam kali ini. Mark terlalu kuat.

  “Berenang bersama Mam, berenang bersama Mam!” gumam Ex dengan nada yang berantakan. Siapapun yang melihat Ex saat ini pasti akan tahu kalau ia sangat gembira.

  “Um… aku tak bisa ikut berenang” kata Ri gugup.

  “Eh? Kenapa? Kau tak suka pantai? Atau kau tak suka asin?” kata Ex penasaran.

  “Bukan begitu… aku suka pantai. Dulu saat kecil pun aku suka ke pantai. Tapi aku tak bisa berenang lagi sejak tubuhku dimodifikasi dengan listrik. Kau tau, listrik dalam tubuhku bisa konslet dan aku bisa mati. Kecuali air hijau khusus milik Profesor Regis” kata Ri.

  “Ah… kalau begitu kau jaga mobil saja” jawab Ex ringan.

  “Mark percepat mobilnya, ayo, ayo!” kata David semangat disusul oleh Mark yang menginjak gas kencang. Cukup kencang sampai mobilnya menabrak pohon di depan sana.

Tunggu, pohon?

  “BRAKKKK!” mobil menghantam pohon besar di depannya.

Aku menghela nafas cepat, masih terkejut dengan apa yang di depanku. Kaca mobil di depanku tak cukup kuat untuk tak rusak. Walaupun tak pecah, beberapa bagian terlihat retak parah. Kurasa Mark lebih shock.

  “Kalian… tak apa-apa?” tanya Mark pelan.

  “Yeah… kurasa begitu” jawabku masih kaget. Jantungku masih berdegup kencang.

  “Mark, kau harus lebih hati-hati” kata David sambil memegangi dadanya.

  “Hey hey hey, kau pikir siapa yang memintaku menambah kecepatan?” tanya Mark kesal.

  “Sudah, sudah. Mark kau bisa menggerakkan mobilnya?” tanyaku padanya.

  “Akan kucoba” jawabnya.

Mark memundurkan mobil, menjauhkannya dari pohon yang tertabrak. Ia kembali menekan gas dengan hati-hati. Ah, kurasa ini akan memakan sedikit waktu.

Hampir setengah jam sampai akhirnya kami tiba di pantai yang kami rasa lebih tenang dari pantai lainnya. Maksudku, sebenarnya dalam beberapa menit sebelumnya pun kami sudah berada di kawasan pantai, namun ombaknya terlalu tinggi dan mungkin bila kami berenang disana, kami akan terdorong air laut dan menabrak karang, atau lebih buruknya; terseret air laut dan tak pernah kembali. Mungkin dewi laut berbaik hati mau mengembalikan kami ke daratan, namun sepertinya aku terlalu banyak membaca dongeng.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang