L (Last Chapter)

360 63 6
                                    

            Kali ini, aku hanya duduk di kursi tua yang tak terlalu nyaman ini. Duduk di halaman rumah sambil menatap kosong. Sesekali menghela nafas panjang, lelah. Bayangan-bayangan pahit itu selalu muncul di kepalaku, samar-samar. Sekelebat, dan hilang. Dan disaat yang tak diinginkan, ia akan mengganggu waktu istirahatku. Sungguh bukan hal indah untuk diingat.

Penutup mata di sebelah kanan ini juga tak terlalu nyaman. Tatapanku memudar. Duniaku menjadi hitam putih, dalam arti sebenarnya. Aku kehilangan kemampuan mata kiriku untuk membedakan warna, dan semua yang kulihat hanya hitam dan putih, persis seperti hidupku. Tak ada lagi yang bisa kubanggakan dari tubuh ini. Luka bakar tangan ini sepertinya akan membekas seumur hidup, setidaknya menurutku. Belum lagi jari kelingking yang hilang. Aku bahkan tak mau membahasnya.

Ah, biarkan aku memperkenalkan diriku sekali lagi. Namaku Liana Rox-el, putri Laurent Martin, kakak David Roxie. Ibuku? Entahlah, aku tak tahu. Atau lebih tepatnya, tak mau tahu. Tak ada yang ingin tahu. Adikku? Jangan tanya. Aku merasa ingin bunuh diri bila mengingatnya. Sedangkan aku? Hanya di sini, duduk, tak tahu apa lagi yang harus kulakukan.

Aku mencoba mencerna semuanya. Pria tinggi berbadan tegap itu kini kehilangan satu kakinya, membuatnya harus menggunakan kursi roda, atau sekedar tongkat untuk menopang berat tubuhnya yang tak seimbang. Tapi, ia masih ahli dalam menembak. Tentu saja, ia menembak menggunakan tangannya. Apalagi yang mungkin terjadi? Mungkin ia hanya kembali berburu dan hidup seperti biasa, namun kali ini, tanpa Dayne, si malaikat maut yang berkali-kali membuat kami panik. Mark memilih hidup yang lebih sulit. Semua yang dilaluinya sulit. Yang lain berkali-kali mengajaknya untuk tinggal bersama, tapi ia menolak. Ia ingin kembali ke rumah lamanya, rumahnya dengan Dayne. Ada sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan di sana. Mungkin,... kenangan?

Anak bermata emas itu kembali ke pelukan nenek dan kakeknya, bersama semua anak-anak kecil menggemaskan yang perlahan dewasa, menghabiskan waktunya dengan orang-orang yang ia sayangi. Bagaimana pun, aku hanya aku, bukan bagian dari keluarganya. Tapi biarlah, setidaknya Ex, ia yang kuanggap anakku lebih bahagia sekarang. Lagipula, jaraknya dari tempatku tak terlalu jauh. Aku masih bisa mengunjunginya sesekali.

Profesor arogan itu kini bersama 'otak pintar' lainnya. Ri masih tetap jadi mesin milik Regis, dan mungkin akan tetap begitu, terutama setelah malfunction total dan hampir mati karena lumpuhnya mesin. Jesica, Hani, Fauzia, Yuki, ah, mereka mungkin akan membuat proyek baru yang fantastis, yang mendunia, entahlah. Kurasa Yuki akan memiliki waktu yang sulit dengan Regis, hanya firasatku.

Langit hari ini menunjukkan sore hari. Beberapa burung bertengger dengan nyaman, tahu bahwa tak ada lagi makhluk-makhluk keparat bernama zombie yang akan mengancam mereka. Semilir angin sore mulai membuat tubuhku dingin. Bibirku terasa lebih kering.

"Kau mau teh hangat, El?" tanyanya sambil memegang bahuku. Aku sedikit terperanjat. Terkadang aku lupa bahwa kini aku hidup bersamanya, setidaknya untuk saat ini. Aku butuh seseorang untuk mengurusku.

"Yeah, terima kasih" jawabku sambil mengangguk. Walaupun semua pandanganku menjadi hitam putih, ia masih terlihat sempurna.

"Baiklah, aku akan segera kembali" jawabnya dengan senyum, meninggalkanku dan kembali masuk ke dalam rumah kayu yang tak terlalu besar itu.

Aku menghela nafas lagi, tak percaya bahwa setelah berperang dengan kematian itu, aku masih bisa meminum secangkir teh hangat. Duniaku mungkin kini hitam putih, tapi selama aku masih bernafas, semuanya akan baik-baik saja.

Tak menunggu lama, ia kembali sambil membawa dua cangkir teh hangat. Ia menatapku sebentar, dan menyimpannya di atas meja sesaat sebelum duduk di sebelahku. Ia ikut menatap ke depan.

"Adrian, apa kau pikir ini adalah hidup yang kau inginkan?" tanyaku sambil mengambil cangkir tehku. Terlihat seperti kopi hitam.

"Kau mulai lagi" jawabnya mencoba menghindari pertanyaanku.

"Jawab saja" jawabku pelan sebelum meminum teh itu.

"Hm... bisa iya, bisa tidak. Hidupku tak pernah benar-benar berharga sebelumnya, tapi setelah kejadian ini, aku tahu bahwa mempertahankan nyawa lebih sulit dari yang kubayangkan" jawabnya sambil ikut meminum teh hangat itu.

"Apa kau pikir aku masih bisa bahagia?" aku bertanya lagi.

Hening. Ia tak menjawab pertanyaanku, hanya menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Ia tersenyum tipis sesaat setelah menghela nafas panjang.

"Menurutmu?" tanyanya. Aku tahu ia tak bisa menjamin. Aku sudah kehilangan semua harapanku, dan semangat hidupku.

Ia disini hanya sebagai pendengar, hanya sebagai laki-laki yang dirasa bisa mengurus perempuan cacat dengan mata satu. Tak kurang, tak lebih.

Hanya begitu, dan terus begitu. Apalagi yang harus kutunggu? Kematian? Kami bahkan telah hidup di antara kematian dalam waktu yang lama. Life in Death. Di antara jiwa-jiwa tak bersalah yang tak berharap raganya berubah menjadi makhluk keparat. Semuanya menjadi lebih sederhana sekarang. Tanpa memikirkan bagaimana bertahan hidup, tanpa memikirkan ancaman saat tidur.

Begitulah...

Harapanku sederhana,

Aku harap cucuku tak akan membuka terowongan di bawah sana.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang