Aku panik. Kubuka tasnya lebar-lebar dan kubalikkan, berharap cairan itu hanya terselip, berharap sesuatu keluar dari dalamnya. Namun hasilnya nihil. Tas itu hanya berisi botol minum yang kubawa sebelumnya.
"ASTAGA, KEMANA CAIRAN ITU?!" teriakku frustasi. Ini membuatku gila.
"Mam?" tanya Ex pelan.
"AKU BERSUMPAH MENYIMPANNYA DI DALAM SINI!" teriakku masih berusaha mencarinya, meraba-raba jaketku seandainya aku memindahkannya ke dalam kantung jaket.
"ARGHHH SIALAN!" makiku saat aku sadar aku tak bisa menemukannya. Sesuatu tiba-tiba terbesit di kepalaku. Aku menoleh ke arah Ex dengan serius. Mataku menajam.
"Ex,... bukankah tadi kau bilang kau berlatih untuk mengatakan hal ini padaku?" tanyaku padanya. Mungkinkah,...?
"Iya! Aku berlatih beratus-ratus kali hanya untuk memberitahukan ini padamu!" katanya antusias.
"Lalu sekarang dengarkan aku. Apakah saat kau berlatih ada orang yang bisa mendengarmu?" tanyaku. Seseorang pasti mengambilnya dari tasku.
"Eh?" tanyanya bingung. Kurasa ia sendiri juga tak tahu.
"JAWAB AKU, EX!" aku meninggikan suaraku. Ia mulai terlihat takut lagi.
Dan tepat saat itu, seseorang keluar dari sisi gelap, menunjukkan langkah kakinya. Tangannya memegang tempat kaca yang jelas kuingat itu adalah tempat cairan yang kuambil dari dalam gua. Dan sialnya, tempat kaca itu sekarang kosong.
"... Dayne?" tanyaku pelan saat ia mulai maju. Mulutku terbuka lebar, mataku jauh lebih lebar lagi. Kakiku melemas. Astaga,...
Aku menghampiri Dayne. Ia menunduk. Aku menatapnya tak percaya. Aku bahkan tak tahu apa motifnya untuk mengambil cairan itu. Ini membuatku kehilangan akal sehatku.
"Dayne,... jangan bilang kau meminumnya?" tanyaku masih berharap. Mataku berbinar menatap matanya yang masih menunduk.
"Tapi Dayne,... kenapa?" tanyaku mulai menghalus. Mengapa ia mengambil dan meminum cairan itu? Bahkan bila ia tahu ataupun tak tahu soal ini, mengapa ia melakukannya?
Kakiku semakin melemas sampai-sampai aku berlutut di depan Dayne. Aku menatap telapak tanganku, dan tulisannya tempo lalu mengingatkanku.
"El, kau tak mengerti. Aku memang ingin mati."
Kepalaku rasanya seperti tertusuk mengingat tulisan itu. Ia ingin mati. Dayne ingin mati. Dan ia mendengar Ex berlatih untuk memberitahukan hal ini padaku. Itulah sebabnya ia memilih untuk meminum cairan itu, mengorbankan dirinya. Karena dari awal ia memang tak ingin bertahan hidup.
Wajahku membeku. Aku mengambil tempat kaca di tangan Dayne.
"KRAKKKK!" suara pecahan kaca itu terdengar jelas. Aku menghantamkan tempat kaca itu ke kepalaku sendiri. Aku sudah tak tahu lagi. Ini semua memuakkan.
Ex dan Dayne terlihat kaget sendiri. Darah mulai mengalir dari kepalaku namun aku masih tak bisa merasakan sakitnya. Sakit di hatiku jauh melebihi pecahan kaca ini.
"KENAPA HARUS KAU, DAYNE?!" aku mulai teriak lagi.
"KENAPA HARUS KAU?! KENAPA DI ANTARA SEMUA ORANG HARUS KAU?! KENAPA KAU YANG MENGORBANKAN DIRI?!" teriakku. Tangisku pecah. Aku akan benar-benar gila.
"KALAU ADA SATU ORANG YANG HARUS MATI TERBAKAR, ORANG ITU ADALAH AKU! AKU YANG MENYEBABKAN SEMUA KEKACAUAN INI! AKU YANG HARUSNYA TERBAKAR DAN BERUBAH JADI ABU!" aku berteriak lagi. Ini tak adil. Ini menambah bebanku. Dayne tak seharusnya mati.
"Tapi kenapa,...? Kenapa kau yang menebus dosaku?" kataku memelan. Kali ini aku hanya terisak. Dayne juga menangis. Air matanya jatuh padaku yang posisinya berlutut padanya.
Ex mengambil tindakan. Ia pergi meninggalkan kami untuk mencari seseorang. Tak berapa lama, Jesica mengadakan rapat dadakan. Hampir semua orang masuk ke lab untuk mengikuti rapat, kecuali Prof. Regis dan Hani yang tetap pada posisinya memegang kendali laser, dan Adrian yang menggantikan posisi Jesica untuk bagian mesin. Kuharap tanpa adanya kami, mereka menjadi lebih leluasa menghancurkan zombie-zombie di luar.
Tak memakan waktu, Jesica langsung menjelaskan tentang cairan itu, dan tentang apa yang harus dilakukan untuk memusnahkan zombie-zombie itu. Aku masih dalam posisiku, hancur. Aku bahkan tak mau membayangkan Dayne menggantikan posisiku, terbakar hidup-hidup sampai menjadi abu. Dan kau tahu siapa yang lebih hancur? Mark.
"ARGHHHH INI TAK MUNGKIN TERJADI!" Mark histeris. Urat-uratnya menegang. Matanya melotot dan mulai berair. Ri langsung menahannya sebelum ia lepas kendali.
"DAYNE, KATAKAN PADAKU BAHWA ITU TIDAK BENAR!" teriaknya lagi. Aku bisa merasakan rasa sakitnya.
"Mark,.. Mark" Ri dan Ex mencoba menahannya agar ia tak meledak.
"AKU BARU BERTEMU SATU HARI. HANYA SATU HARI SEJAK IA LAMA MENGHILANG. SEJAK KUPIKIR IA TELAH LAMA MATI! DAN SEKARANG KALIAN BILANG IA HARUS PERGI UNTUK KEDUA KALINYA?! ITU YANG KALIAN COBA KATAKAN?!!!" ia meledak. Tangisnya meledak. Wajahnya merah padam, tak terima kenyataan. Bulu kudukku merinding, dan kuyakin hampir semua orang yang mendengarnya pun begitu.
Dayne melangkah maju, mendekati Mark yang masih tertahan oleh Ri dan Ex. Ia hanya menatap Mark dan mengangguk beberapa kali, menandakan ia siap untuk pergi. Air matanya semakin meleleh, jatuh. Mark mereda, namun tangisnya semakin menjadi.
"Dayne, kita bahkan belum sempat berbagi cerita" gumam Mark pelan.
Tanpa aba-aba, Prof. Regis dan Hani mulai mengutuk. Bisa kukatakan mereka mulai kesulitan menghadapi zombie-zombie itu dengan laser. Jesica sigap menarik Dayne menjauh dari Mark. Aku, David, dan Ex kembali ke luar lab, melanjutkan pertarungan kami dengan zombie. Zombie-zombie itu sekarang jauh lebih banyak. Yuki dan Fauzia ikut keluar lab dengan membawa tumpukan jerami. Tak lama setelahnya, Jesica keluar dengan Dayne. Tangan kanan Jesica bergandengan dengan Dayne, sedangkan tangan kirinya memegang tali, selembar kain putih, dan pemantik.
Mereka semua naik ke bagian lebih tinggi yang terdapat tiang kayu kokoh untuk penahan lampu. Jesica memasangkan kain putih itu sebagai penutup mata Dayne. Yuki dan Fauzia mulai mengikatnya pada tiang kayu itu. Mark lepas dari genggaman Ri dan berlari keluar lab mencoba menghentikan semuanya. Ri kembali menahannya dari belakang dan membuatnya jatuh terduduk di salju yang dingin. Fokus Ex pecah dan ia berlari untuk membantu Ri menahan Mark kembali.
"DAYNEEEEE! TIDAK! LEPASKAN SAUDARAKU!!!" teriaknya tak terima. Jesica dan yang lainnya ikut menangis. Bahkan bagaimanapun, mereka tak tega melakukannya.
Di sisi lain, yang aktif bertarung dengan zombie hanya ada aku dan David, dibantu oleh laser yang mulai melemah. Aku dan David mulai kewalahan, sedangkan zombie-zombie itu masih terus bermunculan. David mencoba melindungiku seperti kata-katanya sebelumnya, sedangkan aku berusaha melindunginya, seperti sumpahku pada diriku. Kami memegang ego masing-masing, ego untuk saling melindungi.
Satu zombie yang terlihat liar mulai menghampiri dengan cepat. David yang posisinya sedikit lebih depan denganku menjadi sasarannya. Mataku membelalak, kemudian aku berlari untuk menebas zombie itu dan melemparkan tubuhku untuk mendorongnya.
"BRUGHHH!!" kami berdua terjatuh. Kakiku mati rasa, sedangkan zombie-zombie itu masih berdatangan.
"DAVID! LARI MENJAUH!!" teriakku kencang padanya. Ia bangkit dari jatuhnya, membuatku tersenyum.
Aku masih telentang. Senyum tipis menghiasi wajahku. Kurasa aku tak masalah bila sekarang aku mati. Setidaknya aku mati untuk melindungi David, melindungi adikku. Mati seperti ini tak terlalu buruk.
Kenangan itu muncul lagi di saat-saat seperti ini. Pantai dengan cahaya matahari yang mulai terbenam. Langit jingga dan burung-burung yang mulai berterbangan. Suara deburan ombak. Dan yang terakhir, aku dan David yang duduk di atas pasir, menunggu matahari benar-benar hilang di balik laut. Setidaknya aku mati untuk melindunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death 2 : Illusion
Adventure(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu sebuah berkah atau kutukan. Tapi demi apapun, aku lebih memilih mati dibanding berubah menjadi makhluk mengerikan bernama Zombie itu. Perja...