X

554 101 0
                                    

Aku membuka mataku saat udara dingin malam menghilang. Seperti biasa, hari sudah mulai siang saat aku terbangun dari tidurku. Kali ini aku tak bermimpi apa-apa. Entahlah, mungkin aku lelah.

Aku duduk sejenak di tempat sebelum aku bangkit dan keluar dari ruangan ini. Aku pergi mencari dapur dari bangunan ini karena sejauh yang kulihat, ruangan ini hanya terdapat alat-alat yang tak kumengerti. Kepalaku menengok ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari yang lain. Kurasa mereka tahu dimana letak dapurnya.

  “Cari apa?” tanyanya menghampiriku. Profesor itu lagi.

  “Dapur. Dimana letak dapurnya?” tanyaku padanya.

  “Um… itu… apa yang kau butuhkan?” ia berbalik tanya.

  “Segelas air putih dan sarapan” jawabku.

  “Maksudmu makan siang?” ia membenarkan.

  “Ah apalah apalah. Yang pasti aku butuh makanan” kataku kesal.

  “Tunggu sebentar” katanya sambil pergi kearah lainnya. Ia bahkan tak menoleh.

Aku pergi mencari kursi untuk duduk. Aku bahkan belum melihat yang lain hari ini. Kurasa tak mungkin kalau mereka pergi berburu, jadi kurasa mereka pergi ke mobil. Mungkinkah Profesor Regis sudah memberi listrik untuk mobil kami?

Setelah beberapa menit menunggu, ia akhirnya kembali dengan sebotol air dan semangkuk sereal dengan susu. Sereal itu terlihat seperti makanan khusus anak-anak, berwarna-warni dengan bentuk-bentuk hewan lucu. Ia menyerahkan ia menyimpan sereal dan segelas air itu di meja yang berada tepat di depanku sebelum ia akhirnya duduk di sebelahku.

  “Kemana yang lain?” tanyaku sesaat sebelum aku memasukkan sesendok sereal itu ke dalam mulutku.

  “Mengisi listrik untuk mobil mereka. Mungkin mereka akan kembali dalam beberapa menit lagi” jawabnya.

  “Jadi kau sudah mengizinkan agar mobil disimpan disini, huh?” sindirku padanya setelah aku selesai menelan sereal itu.

  “Begitulah” jawabnya singkat. Jawabannya benar-benar membuatku canggung.

  “Jadi apa kau maksud dengan professor yang kau cari? Bukankah kemarin temanmu bilang hal semacam itu?” tanyanya melanjutkan.

  “Kami sedang mencari professor untuk membantu kami menghilangkan wabah zombie. Ya, setidaknya begitulah yang tertulis di buku kuno milik adikku” jawabku.

  “Buku?” ia memastikan.

  “Iya” jawabku singkat sambil terus melanjutkan kegiatan pentingku, makan.

  “Bagaimana denganmu? Kau jelas-jelas punya banyak fasilitas yang memadai, atau keahlian-keahlian yang orang lain tak punya. Kenapa kau tak berencana untuk melawan zombie-zombie itu?” tanyaku padanya setelah aku meneguk air mineral.

  “Umm yeah” katanya malu-malu. Wajahnya berubah menjadi merah. Aku dapat melihat senyum bangga di bibirnya. Bahkan kurasa aku bisa melihat efek kacamata hitam pada matanya.

  “Memang benar aku punya banyak fasilitas yang memadai, dan keahlian yang, ehem, tinggi dan tak dimiliki orang lain” katanya mengulang kata-kataku dengan nada bangga.

Seharusnya aku tak bertanya.

  “Tapi…” ia melanjutkan,

“Sepertinya aku belum siap untuk keluar dan melawan para zombie itu. Aku masih ingin bereksperimen dengan alatku. Mungkin suatu saat, saat ia benar-benar menjadi alatku yang sempurna, aku akan mencoba membasmi zombie-zombie itu” katanya.

  “Alat? Alat yang kau maksud itu Ri?” tanyaku sambil lanjut memasukkan sereal itu ke dalam mulutku.

  “Ya begitulah. Ia hanya manusia lemah yang tak sengaja kutemukan saat keadaannya hampir sekarat. Jadi, sebagai gantinya, aku membuatnya menjadi bahan eksperimenku tentang listrik. Seperti yang kau lihat, kekuatannya masih belum stabil. Ia mungkin bisa menyerang zombie-zombie itu hanya dengan mengarahkan tangannya. Tapi saat energinya habis, ia akan langsung tumbang. Alat itu bahkan menarik semua aliran dari sumber listrik manapun tanpa mampu mengembalikannya” katanya panjang lebar. Kurasa ini menjadi semakin menarik.

  “Ah jadi begitu. Tapi bagaimanapun kau harus ingat bahwa dari awal ia diciptakan sebagai manusia, makhluk paling sempurna. Mungkin balas budinya membantu risetmu, tapi kau tak boleh lupa bahwa ia, aku, dan kau tetaplah seorang manusia” kataku sesaat setelah mengunyah dan menelan sereal itu.

Ah sial, kenapa pula aku mengucapkan kata-kata bijak itu saat suasana sereal menari-nari di kepalaku.

Aku bangkit dari kursi sambil membawa mangkuk kosong dan gelas yang berisi sedikit air. Sebenarnya aku pun tak tahu akan menyimpan ini dimana, tapi setidaknya aku harus terlihat peduli dengan cucian piringnya.

  “Ah, tinggalkan saja di meja” katanya sebelum aku melangkah pergi lebih jauh. Kurasa dia tahu apa yang aku pikirkan.

  “Kau yakin aku tak perlu mencucinya dulu?” tanyaku padanya memastikan.

  “Yeah” katanya singkat.

Aku pergi ke ruangan lain di bangunan ini. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sendiri pun tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Yang lain sedang tak ada dan di bangunan sebesar ini hanya ada aku dan professor itu.

Aku pun tak merasa ada yang membebaniku, yah kecuali mangkuk dan gelas kotor tadi. Jadi kali ini, aku hanya duduk di sofa sambil menunggu yang lain pulang.

Jarum jam semakin bergerak seiring berjalannya waktu. Dan aku masih duduk disini, hampa.

Setelah beberapa menit waktu berlalu, akhirnya suara mobil pun berbunyi, tanda bahwa mereka telah kembali. Aku segera menghampiri bagasi, berharap bertemu mereka.

  “Baru bangun, tuan putri?” tanya David yang sebenarnya menyindirku.

  “Enak saja. Aku sudah bangun daritadi. Aku bahkan sudah makan semangkuk sereal” jawabku sinis padanya.

  “Pantas saja aku bisa mencium wangi susu dari mulut Mam” kata Ex.

  “Ex, yang benar itu ‘bau’…” kata Jesica memberitahu.

  “Ih, tidak. Bau itu untuk aroma tak sedap. Kurasa susu tak termasuk golongan itu” jawab Ex menjelaskan.

  “Tunggu, kau bilang sereal? Siapa yang memberimu sereal?” tanya Mark tiba-tiba sambil menghampiriku.

  “Profesor Regis. Bukannya kalian juga dapat, ya?” tanyaku pada mereka.

  “Hah? Aku bahkan sudah bertanya lebih dari 10 kali tentang adanya makanan disini. Tapi dari semua pertanyaan, profesor sialan itu selalu menjawab tak ada makanan” kata David kesal.

  “Oh ayolah, kalian pikir aku berbohong? Kalau ia tak punya makanan, ia tak akan membuatkanku semangkuk sereal, David” kataku padanya.

  “Bukan kau yang berbohong, El. Dia yang berbohong” kata Mark dengan nada kesal.

  “Padahal aku juga ingin sereal…” gumam Yuki sedih.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang