Aku menatap atap-atap ruangan ini, masih blur. Hari sudah sore dan mataku masih mengantuk. Ini sudah lebih dari 8 jam sejak aku menutup mataku untuk tidur. Aku memegang kepalaku, lebih tepatnya benjolku. Mulai mengempis, tapi aku tahu ia masih di sana. Aku berdehem, membersihkan tenggorokanku yang sedikit gatal. Setelah mengumpulkan niat, aku bangkit, keluar dari ruangan, mencoba mencari yang lainnya.
Setelah mengikuti suara obrolan yang terdengar hidup, aku sampai di ruang makan. Hanya ada Fauzia, Yuki, Mark, dan Ex. Mereka di sana, duduk, membahas sesuatu yang entah-apa-aku-tak-tahu. Sesaat setelah aku muncul, menghampiri, mereka melirik.
"Oh hey, El! Tidurmu nyenyak?" tanya Fauzia.
"Tidak... tidak begitu" kataku sambil mencoba meraih satu kursi untuk ikut duduk bersama mereka.
"Aaah itukah sebabnya kau berputar-putar di dapur siang ini, El?" tanya Yuki membuatku bingung. Kurasa aku tak pernah berjalan sambil tidur.
"Hm? Kurasa tidak, Yuki. Aku berbaring seharian. Mimpiku tak terlalu bagus" jawabku padanya membuat Yuki juga kebingungan.
"Eh? Tapi aku yakin aku melihatmu, El!" ucap Yuki yakin.
"Mungkin kau berhalusinasi lagi, Yuki" tanya Fauzia. Lagi? Apa maksudnya?
"Um,... terkadang sulit bagi Yuki untuk membedakan halusinasi dan dunia nyata" kata Fauzia. Aku baru tahu. Pantas saja terkadang gelagatnya aneh.
"Lebam-lebammu sudah baikan, El?" tanya Mark tiba-tiba.
"Hmmm... sepertinya sudah. Benjolku juga sudah mulai mengempis" jawabku. Lebam seperti ini memang tak terlalu sakit, kecuali saat ada yang menyentuhnya.
"Aku akan membantu mengompres Mam lagi nanti" kata Ex setelah meneguk teh di cangkirnya.
"Terima kasih, Ex" ucapku.
Untuk beberapa saat, hanya hening. Aku bahkan tak tahu apa yang aku tunggu. Ex masih menikmati secangkir teh yang beroma peppermint itu. Aku hanya duduk, sesekali menoleh jam, hingga akhirnya ia melenguh kesal.
"Apa mereka belum selesai mengurus mesinnya? Kalau mereka tak selesai-selesai, kita tak bisa mulai makan" kata Yuki sambil menepuk-nepuk perutnya.
"Mesin?" tanyaku singkat.
"Hani dan Jesica sedang membantu Prof. Regis mengurus mesin di belakang. Percobaan pertama gagal karena mesinnya berasap saat dioperasikan, jadi mereka pergi untuk memperbaikinya lagi" kata Fauzia.
"El, kurasa lebih baik kau membangunkan adikmu untuk makan. Ia juga belum bangun dari pagi" kata Mark. Ah iya, kurasa ia juga lapar.
"Ruangannya?" tanyaku sambil bangun dari kursi.
"Lorong kiri, ada ruangan kesatu di sebelah kanan" kata Mark disusul aku yang melangkah pergi.
Di tengah perjalanan menuju ruangan David, aku melewati ruangan utama. Ri berada di dalam tabung berisi cairan hijau, seperti biasa. Mungkin ia harus memulihkan energy lebih lama. Sejenak, terbesit senjata Ri yang malfunction dan membakar tangannya sendiri dengan listrik hitam yang aneh. Yaaah, kuharap Prof. Regis segera memperbaikinya.
Dalam beberapa langkah besar, aku sampai di ruangan David. Ia masih tertidur di sana, menghadap ke arah lain, arah sebaliknya dari pintu. Aku menghampirinya, mengintip. Benjol di kepalanya masih ada, terlihat jelas. Aku jadi merasa bersalah sedikit, karena bagaimana pun, aku yang menciptakan benda tersebut.
"David, bangun" kataku pelan sambil menepuk-nepuk pundaknya.
"..." hening. Ia tak membalas.
"David, bangun. Sudah lebih dari 8 jam kau tertidur" kataku masih mencoba menepuk-nepuk pundaknya.
"Hmmm okay" ia menjawab pelan, namun masih dalam posisinya.
"Ayolah David, kita akan makan. Kalau kau tak bangun sekarang, kau akan kelaparan" kataku mencoba meyakinkannya untuk bangun.
"..." ia tak menjawab lagi. Dari gerakannya, ia bahkan tak berniat untuk bangun.
"David, kalau kau tak bangun, aku akan menekan-nekan benjolmu" kataku sambil mencoba meraih kepalanya. Ia terperanjat dan langsung duduk.
"DON'T YOU DARE!" teriaknya kesal.
Aku tersenyum tipis, mencoba meninggalkan ruangan lebih dulu. Yang pasti, ia sudah bangun. David mengikutiku dari belakang dengan muka masam. Langkah sedikit dipercepat untuk menyusulku.
"Akhirnya kau bangun juga" kataku tersenyum remeh sambil meliriknya.
"Selera humormu jelek sekali, El" kata David sesaat setelah menghembuskan nafas kasar.
Setelahnya, kami hanya berjalan untuk kembali ke ruang makan. Regis, Hani, dan Jesica sudah kembali. Mereka ada di ruang makan, namun masih sibuk membuka pelindung baju yang terlihat cukup kotor itu. Aku dan David duduk di kursi dekat meja makan, begitu pula Jesica dan Hani. Alih-alih duduk, Regis mulai mengganti alat pelindungnya dengan apron.
"Regis, kau bisa memasak?" tanyaku kaget. Ia tak terlihat seperti orang yang bisa masak. Maksudku, aku juga tak bisa.
"Ya, begitulah. Aku tinggal sendirian di sini cukup lama. Kalau aku tak masak, aku tak makan" katanya sambil melirikku. Aku hanya mengangguk.
"Kenapa? Kau mau membantuku, El?" tanyanya. Pede sekali dia.
"Nope. Aku tak bisa masak" kataku menolak. Ia sedikit tertawa.
"Kalau begitu, kau mau mencoba masakanku, El?" tanyanya menawarkan, sedikit membuatku bingung. Dengan posisinya sebagai orang yang memasak, bukankah aku pasti akan makan? Kita semua akan makan?
Belum sempat aku menjawab, Hani bangkit dari kursinya dengan kasar. Ia mulai menghampiri tempat masak dan memakai apronnya tanpa berkata apa-apa.
"Hani?" David terlihat memastikan.
"Aku akan memasak. Bila kalian menunggu masakan Prof. Regis, kalian akan kecewa. Ia hanya akan memasak untuk El dan untuk dirinya sendiri" jawabnya tanpa menoleh, melanjutkan kegiatannya.
Waktu berlalu. Setelah mereka selesai memasak, kami pun makan. Kentang, sayur, dan- uhm,... kuyakin itu terlihat seperti burung puyuh atau semacamnya. Tak banyak yang bisa diceritakan, kami hanya makan dengan lahap. Dan masakan Regis rasanya enak juga.
"Kuharap kalian semua bisa kumpul nanti malam. Ada yang harus kubicarakan" kataku di sela-sela makan, disusul oleh anggukan yang lain.
Malam ini terasa dingin. Rasanya tak pas bagiku untuk memakai kaos pendek seperti ini. Aku dan Mark sudah ada lebih dahulu di ruang utama, menunggu yang lainnya untuk ikut berkumpul. Ada beberapa hal yang perlu dibahas, termasuk hal yang kami dapat selama perjalanan kemarin. Kurasa Regis dan yang lainnya masih belum tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death 2 : Illusion
Adventure(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu sebuah berkah atau kutukan. Tapi demi apapun, aku lebih memilih mati dibanding berubah menjadi makhluk mengerikan bernama Zombie itu. Perja...