Kami bertiga panik. Suaranya terdengar jelas di telingaku. Tn. Jonathan memacu kudanya dengan kencang. Ex duduk di depannya, berpegangan erat pada tali kuda agar tak jatuh, sementara Ri terlihat tak nyaman duduk di belakang. Tangan kirinya memegang obor yang menyala, sementara tangan kanannya terlihat menghitam sambil memegang senjata listriknya yang mengeluarkan cahaya. Di belakang kuda mereka, kulihat banyak zombie yang berlari. Dan Demi Tuhan, kecepatan mereka hampir setara dengan serigala zombie yang pernah mengejar mobil kami dulu. Raungan-raungan itu mulai terdengar keras, bersahut-sahutan dengan teriakan Tn. Jonathan yang meminta kami untuk berlari.
Mark dan David berlari menyebrangi jembatan, mengikuti perintah Tn. Jonathan. Sedangkan aku? Masih membeku di sini. Tn. Jonathan terlihat kelelahan, begitu pula kudanya. Kuda hitam gagah itu mulai melambat, sedangkan zombie-zombie itu malah semakin cepat. Salah satu zombie menggapai ekor kuda itu, membuatnya meringkik keras dengan dua kakinya. Aku menengok ke belakang.
"Mark, tembak!" teriakku pada Mark yang bahkan belum sampai setengah jembatan.
Ia menoleh dan menyiapkan senapannya, mencoba memfokuskan pandangannya. David otomatis ikut berhenti berlari. Dari sini, aku bisa melihat Tn. Jonathan memaki lagi.
"Dor!" tembakan Mark tak cukup tepat untuk menumbangkan zombie itu.
"SIAL!" teriak Mark frustasi sambil terus menembak. Pelurunya tak cukup kuat untuk menghancurkan makhluk-makhluk setan itu.
Aku menarik nafasku dalam-dalam dan menyalakan gergaji mesinku. Aku menatap ke arah zombie-zombie itu. Tanpa pikir panjang, aku berlari menghampiri kuda Tn, Jonathan, mencoba menyerang zombie-zombie itu.
"EL, APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak Tn. Jonathan terkejut saat tahu aku nekad menghampiri mereka.
"BAWA PERGI DULU KUDANYA, KAKEK TUA. KAU INGIN MATI DI SINI?!" teriakku kesal sambil menebas kepala zombie yang mencengkram ekor kuda itu. Kudanya meringkik dan otomatis melarikan diri ke jembatan.
Aku masih di sini, mencoba menghancurkan zombie-zombie ini seorang diri. Mata tajam gergaji mesinku menggiling mereka, merobek tubuh mereka, tapi tak cukup membuat mereka tumbang. Aku bahkan tak punya waktu untuk memfokuskan seranganku pada kepala mereka. Mark cukup membantu menembak dari jauh, walaupun tak semua pelurunya tepat sasaran. Dengan nafas terengah-engah, aku masih berusaha mengulur waktu agar yang lainnya bisa lari.
Zombie-zombie itu masih cukup kuat untuk menyerangku. Wajah mereka lebih liar. Gerakan mereka lebih ganas. Mulut mereka mencoba mengoyak, menunjukkan gigi tajam yang tak karuan. Darah kental yang mulai menghitam itu terciprat kemana-mana.
"EL!" teriak David yang mencoba berlari menghampiriku.
"LARI, DAVID. LARI KE SEBRANG JEMBATAN!" teriakku mencoba meyakinkannya.
Aku menatap tanganku yang penuh luka bakar itu. Perih. Tapi kurasa harus kulakukan sekali lagi.
"WOOSH!" aku menarik tali gergajiku dan api biru itu muncul lagi. Aku benar-benar akan menghancurkan tanganku sendiri kali ini.
"MARK, LARI!" teriakku kencang.
"Tapi-" ia masih ragu.
"LARI, CEPAT!" teriakku dengan seluruh tenagaku diikuti oleh langkah kaki yang berlari menjauh dariku.
Aku masih mencoba membakar mereka, beberapa yang tersisa sebelum zombie-zombie lain mulai berdatangan. Namun sialnya, mereka datang lebih cepat dari dugaanku. Aku mencoba memfokuskan tenagaku pada satu serangan untuk mencari celah agar bisa melarikan diri. Hingga akhirnya-
"BLAR!" aku menarik tali gergaji mesin itu lebih kuat, membuat api biru itu menjalar ke segala arah. Dengan satu serangan, aku menebas apapun yang ada di depanku agar aku punya waktu untuk kabur. Mereka tumbang terbakar, dan sebelum zombie-zombie keparat lainnya datang, aku berlari ke jembatan dan memotong tali penyangga itu sebelum zombie itu sampai di jembatan.
INI LEBIH MENGERIKAN.
Aku berlari sekuat tenaga untuk sampai ke ujung jembatan tepat waktu, begitu pun yang lainnya. Tepat saat itu, David sampai di ujung sana bersama Ex, Ri, Tn. Jonathan dan kudanya, sedangkan aku dan Mark masih berlari. Ujung jembatan yang kupotong mulai jatuh, begitu pula denganku dan Mark yang berada jauh di depanku.
"PEGANGAN KE TALI!" teriak Mark saat satu sisi jembatan benar-benar jatuh. Kini jembatan itu hanya bertumpu pada satu sisi dimana kami harus memanjat ke atas.
Aku memanjat sekuat tenagaku. Mode api gergaji ini perlahan berakhir. Dadaku rasanya sakit, begitupula tanganku. Tangan kiriku yang cacat harus mengangkat gergaji mesin berat ini dengan satu tangan, sedangkan tangan kananku yang penuh luka bakar harus berpegangan pada tali untuk terus memanjat, menahan seluruh beban tubuhku. Kulitnya sudah hampir sepenuhnya hancur, terutama setelah tebasan api terakhir.
Aku hampir saja berpikir aku akan aman dan yang harus kulakukan hanyalah memanjat sebelum kusadari bahwa gergaji mesin api yang kupakai memotong tali penyangga di ujung lain menyebabkan masalah yang lebih parah. Apinya menjalar, membakar pijakan jembatan yang notabenenya terbuat dari kayu itu. Bila aku tak mempercepat gerakanku memanjat, mungkin perkataan David akan benar-benar terjadi. Mungkin aku akan benar-benar terbakar hidup-hidup.
"APINYA, EL! APINYA!" teriak David dari atas sana. Aku hanya bisa melihat sebagian wajahnya menatapku, khawatir.
"MARK!" teriakku. Ia menoleh dan malah berhenti memanjat.
"Ayolah,... sedikit lagi,..." batinku mengeluh.
Hanya tinggal 5 meter lagi. Hanya 5 meter. Api yang menjalar itu tepat di belakangku. Mark masih berusaha, begitu pula aku. Aku tepat berada di belakang Mark, sebelum ia memutuskan untung mencengkram bagian baju belakangku dan melemparku agar mendahuluinya. Ia tertarik mundur, kehilangan kendali, hampir jatuh ke kobaran api itu.
"MAM! PEGANG TANGANKU!" teriak Ex tiba-tiba. Ia mengulurkan tangannya sepanjang mungkin.
"AYO EL!" teriak David yang juga ikut mengulurkan tangannya.
Aku berusaha menggapainya. Sedikit lagi, sedikit lagi, hanya tinggal sedikit lagi. Dan,...
"ARGHHHHH!" teriak Mark di bawahku. Kakinya terbakar.
Fokusku pecah. Tanganku bergetar saat hampir menggapainya. Tn. Jonathan ikut mengulurkan tangannya, menarik paksa tanganku yang sudah tak memiliki kekuatan. Mereka menarikku sekuat tenaga hingga akhirnya aku sampai ke tanah, terbaring lemas. Mark mempercepat gerakannya dibantu oleh tarikan tangan yang lainnya. Ia langsung berlari dan menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, berharap api itu mati.
Jembatan itu sudah benar-benar hancur. Jatuh dan terbakar. Aku masih terbaring di sini. Tenagaku benar-benar sudah habis. Ex dan David duduk untuk memeriksa kaki Mark. Kurasa kulitnya yang terbakar menempel dengan celananya. Mark terus-menerus melenguh sakit saat David merobek bagian bawah celananya, mencoba memisahkannya dengan kulit yang lengket itu.
"SENJATA INI MEMBAKARKU!" teriak Ri tiba-tiba. Bagian hitam di tangannya melebar dengan senjata itu masih di genggamannya.
Ex menghampiriku. Semuanya terasa melambat, dan... buram. Mereka semua terlihat samar. Dan menghitam, menghitam, dan,... hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death 2 : Illusion
Adventure(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu sebuah berkah atau kutukan. Tapi demi apapun, aku lebih memilih mati dibanding berubah menjadi makhluk mengerikan bernama Zombie itu. Perja...