XVII

517 88 3
                                    

            Jingganya langit mulai memudar, berganti dengan hitam malam. Tentu saja kami kembali ke mobil untuk berganti baju. Kami bisa mati kedinginan bila kami terus memakai baju basah.

"Bagaimana kalau kita berkemah dan memasang tenda disini?" tanyaku senang.

"Um, aku setuju, Mam. Kurasa disini akan aman" jawab Ex.

"Mark?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.

"Aku tak masalah" jawabnya.

"Aku tak bertanya pendapatmu. Aku memintamu membawa tenda di bagasi mobil" kataku tak tahu malu.

"Huft, iya tuan putri" jawabnya menyindir sambil bergegas ke belakang mobil.

Setelah semua siap, kami duduk di kain yang cukup lebar dan mulai membuat api unggun. Sebenarnya cukup sulit membuat api unggun disini karena anginnya cukup besar, tapi tak ada yang tak mungkin untuk Mark. Yeah, Mark. Kau lagi.

Mark menyiapkan api unggun sementara aku dan Ex memasang tenda. Tentu saja, aku akan tidur dengan Ex sedangkan David akan tidur dengan Mark dan Ri. Lagipula tendanya cukup luas.

"Apa yang akan kita makan sekarang?" tanya David semangat. Dari pertanyaannya, sudah jelas bahwa ia kelaparan.

"Bagaimana kalau mie instan kuah?" tanya Mark sambil menghampiri kami dan ikut duduk. Ia membawa sekardus mie instan.

"Ide bagus! Mie kuah panas akan benar-benar cocok untuk saat ini" kata Ex.

Kami memasak mie instan sambil mengelilingi api unggun yang tak terlalu besar itu. Aku duduk sambil melipat lututku dan menyimpan daguku di atasnya. Kau tahu posisi memeluk lutut? Begitulah.

"Apa di laut ini ada monster gurita raksasa?" tanya David tiba-tiba. Wajahnya terlihat mengkilat-kilat kuning karena pantulan api.

"Tak ada, David. Tak ada makhluk-makhluk semacam itu" jawabku.

"Ada!" kata Ex tiba-tiba. Huh? Dia juga percaya makhluk mitos semacam itu?

"Tak ada!" teriakku percaya diri.

"ADA!" teriak Ex dan David kencang.

"TAK ADA!" jawabku meninggikan suaraku.

"Cukup cukup!" seperti biasa Mark memisahkan perdebatan kami.

"Voting! Yang lebih banyak yang menang!" usul Ex.

"Okay! Mark dan Ri, kalian ucapkan bersamaan. Ada atau tak ada?" kataku pada mereka.

"Tak ada!" teriak Mark.

"Ada!" teriak Ri. Sebenarnya mereka mengucapnya bersamaan, tapi aku tak tahu bagaimana menjelaskannya.

"Huh?" kataku bingung.

"Entah kalian percaya atau tidak, tapi aku pernah melihat salah satu dari mereka" kata Ri sesaat setelah menelan ludah.

"Ceritakan!" kata Ex semangat.

"Jadi..." belum selesai Ri bicara, David sudah memotong.

"Kalian yakin tak akan memakan mie kuah kalian? Mienya sudah mengembang" katanya sambil mengambil mangkuk dan menuangkan mie ke dalam mangkuknya.

"MAKAN!" teriak Ex yang sepertinya lebih tertarik dengan makanan, disusul tatapan kecewa Ri.

Kami mulai makan mie kuah yang sudah matang itu. Seperti kata David, mienya sudah benar-benar mengembang. Aku mencoba sesendok kuah terlebih dulu, dan...

"Oh Tuhan, apakah aku sedang di surga?" batinku berbicara.

Aku benar-benar merasa hidup kembali. Kurasa aku bisa menghabiskan sekardus mie instan sendirian. Yang lain pun terlihat menikmati makanan mereka masing-masing. Untuk beberapa saat, hanya ada suara mie yang diseruput dan suara menelan kuah yang cukup kencang. Entahlah, setelah makan mungkin kami akan langsung tidur.

Sesaat setelah kami makan, angin laut yang cukup besar berhembus memadamkan api unggun, memberi tanda bahwa sekarang adalah waktunya kami masuk ke tenda untuk beristirahat. Ex masuk terlebih dahulu disusul oleh aku di belakangnya, setelah memilih posisi yang nyaman, aku pun memakai kantung tidur dan merebahkan diriku. Udaranya terasa sangat dingin, dan kurasa aku tak bisa tidur dengan tenang.

Sebelumnya sudah kubilang bahwa aku tak akan bisa tidur dengan tenang, dan benar saja. Di langit yang masih terlihat gelap ini aku terbangun. Bukan, bukan karena kedinginan. Kurasa aku baru saja bermimpi buruk tapi aku sendiri tak ingat aku bermimpi apa. Rasanya seluruh ketakutanku menjadi satu. Aku memejamkan mataku berkali-kali. Suasana pantai sebenarnya benar-benar menyegarkan, tapi untuk alasan yang aku sendiri pun tak tahu, pantai membawakanku kenangan buruk.

Aku keluar dari tenda, masih memakai kantung tidurku. Yeah, kau bisa bayangkan tubuhku terbungkus seperti ulat bulu. Aku melompat-lompat, sedikit menjauh dari tenda. Setelah susah payah melompat-lompat, aku akhirnya duduk di pasir, cukup jauh dari ombak laut yang pasang. Beberapa diantara kalian mungkin bertanya-tanya mengapa aku masih menggunakan kantung tidurku, tapi udaranya masih terlalu dingin untuk aku berada di luar tenda. Entahlah, ini rumit. Aku butuh udara segar untuk menenangkan pikiranku, tapi udaranya terlalu dingin hingga aku harus memakai kantung tidurku ke luar. Aaah, mari kita nikmati kedamaian ini sejenak.

Aku memanjangkan kedua kakiku. Tanganku kulipat didada, dibalik kantung tidurku. Kini udara dingin menyerang leher dan belakang telingaku. Namun di saat-saat seperti ini pun aku masih enggan untuk kembali ke tenda. Aku menatap deburan ombak yang pasang, saling menggulung kemudian lenyap dan tertarik ke tempatnya semula. Mataku menatap lautan yang kelihatannya tak berujung. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanyalah air yang memantulkan sinar bulan sabit yang perlahan tertutup awan. Mungkin suatu hari, awan tak hanya menutup bulan, melainkan menutup mata kami. Kau tahu, maksudku mati. Mati di pantai tak terlalu buruk juga.

"Sudah kuduga kau akan menyendiri seperti ini lagi" katanya tiba-tiba. Mark. Kenapa ia selalu ada disaat-saat seperti ini?

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang