II

949 108 5
                                    

Aku membuka mataku. Sekarang aku berbaring di ruangan awal. Teman-temanku sedang berada di samping tempat tidur. Mereka menangis.

  “Mam… kau benar-benar sadar?” tanya Ex.

  “El! Akhirnya kau membuka matamu!” teriak Mark kaget bercampur senang.

  “Ugh… apa yang terjadi?” jawabku pusing.

  “Kau… kau tak sadarkan diri selama beberapa minggu ini. Saat aku pegang tanganmu, nadimu mulai melemah dan aku kira ini hari terakhirmu” jawab David, adikku putus asa.

  “Syukurlah kau sadar, El” kata Jesica.
  “Kau mengalami…” belum selesai ia bicara, aku sudah memotongnya.

  “Cukup. Kau tak perlu memberitahuku. Aku sudah mendengar semuanya” jawabku tersenyum.

  “Oh? Bagaimana bisa?” tanya Jesica bingung.

  “Sulit dijelaskan” jawabku.

  “Dimana kita?” tanyaku setelah beberapa saat hening.

  “Um, di penginapan yang sudah tak terpakai, jauh dari lokasi sebelumnya” jawab Ex.

  “Ooooh” aku ber-oh ria. Tak berusaha untuk bertanya lebih jauh. Lagipula, aku masih butuh istirahat.

  “Kalau begitu, kau istirahat saja. Setelah sembuh total, kita akan melanjutkan perjalanan” kata Mark sambil menarik selimut ke atas.

  “Baiklah” jawabku singkat sambil mencoba menutup mata.

Beberapa hari ini aku benar-benar berisitirahat total. Beberapa bagian tubuhku masih terasa sakit dan terbalut perban tapi sudah bisa digerakkan. Namun aku sering merasakan sakit tiba-tiba di kepalaku. Ditambah, tanganku masih terlalu sakit untuk mengangkat barang-barang berat.

David datang dari balik pintu. Ia membawa perban dan beberapa peralatan lainnya.

  “Bagaimana keadaanmu, El?” tanyanya sambil membuka perban di tanganku.

  “Jauh lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya aku sudah bisa berdiri dan menggerakan badanku. Walaupun sepertinya aku belum bisa berlari” jawabku sambil melihat ia membersihkan tanganku dengan kain dan air hangat.

  “Kau akan segera sembuh. Aku yakin” jawab David yang sepertinya sibuk membersihkan tanganku dan mengganti perban. Bahkan setelah beberapa hari, darahku masih belum mau berhenti, ya?

  “Iya, aku akan segera sembuh dan kita bisa melanjutkan perjalanan untuk memusnahkan zombie” kataku semangat.

  “Ou ou ou. Tunggu tunggu. Siapa yang bilang kita akan melawan zombie lagi?” tanya David sedikit membuatku bingung.

  “Mark?” tanyaku karena seingatku Mark yang bilang begitu.

  “Tidak, El. Kita tidak akan melawan zombie. Biar mereka saja yang berusaha” kata David terkekeh pelan.

  “Hah? Apa maksudmu?” tanyaku kini benar-benar bingung.

  “Maksudku, kau istirahat saja, jaga kesehatan. Biar mereka yang melanjutkan perjalanan” jawab David terlihat enteng tapi untukku itu benar-benar menyebalkan.

  “David, aku, ah tidak, kita yang harus menyelesaikannya. Kita yang harus berjuang” jawabku mencoba menjelaskan.

  “Kenapa? Kenapa harus kita?” tanya David sepertinya mulai kesal.

  “Kita tak bisa hidup berdampingan dengan zombie seperti ini, David. Kita yang harus memusnahkannya. Kita tak bisa memberikan tanggungjawab ini pada orang lain” jawabku mencoba membuat ia mengerti.

  “Lalu apa? Kau ingin ikut bertarung dan menyusahkan mereka? Dengan keadaanmu yang seperti ini kau hanya akan menjadi beban, El!” katanya benar-benar membuatku tak bergeming. Itu terlalu menyakitkan.
David menghela nafas panjang. Sepertinya ia butuh menenangkan diri setelah mengucapkan kata-kata yang kurang pantas pada kakaknya, aku.

  “Maafkan aku, El. Aku… aku tak bermaksud menyakiti hatimu. Beberapa hari kemarin aku sudah cukup putus asa melihatmu terbaring tak sadarkan diri. Kala itu aku kira kau benar-benar akan mati, El. Dan sekarang, aku… aku tak bisa membayangkan jika kau seperti itu lagi. Aku tak bisa membayangkan jika kau benar-benar pergi meninggalkan aku. Tolong mengertilah” katanya panjang lebar disusul ia yang membawa alat-alat pergi keluar ruangan. Pada kenyataannya, ia yang meninggalkan aku sendirian di ruangan ini.

Sekasar apapun David, semenyakitkan apapun kata-kata yang ia lontarkan terhadapku, pada akhirnya ia tetap seorang adik kecilku yang aku sayangi. Dan aku tahu, ia tak bisa mengungkapkan kepeduliannya sehingga kadang ia bersikap kasar. Tapi percayalah David, sekarang aku mengerti. Dan aku tak akan membuat kau pergi untuk kedua kalinya.

Waktu berlalu dengan cepat. Dalam beberapa minggu tubuhku berangsur-angsur sembuh, walaupun aku tahu tak akan bisa kembali ke kondisi awal. Walaupun tak secepat dulu, aku sudah bisa berlari lagi.

Pagi ini aku terbangun dari tidurku yang cukup nyenyak. Mungkin segelas teh manis hangat dan roti kering adalah pembuka hari yang tepat. Betapa lucunya di keadaan dunia yang seperti ini, aku masih bisa memikirkan segelas teh manis.

Aku tahu diluar sana keadaan masih seperti biasa. Jalanan yang semakin lama semakin hancur, zombie-zombie keparat yang meraung-raung tak karuan, dan kekacauan lainnya. Aku tak yakin kapan aku dan yang lainnya bisa mengakhiri kekacauan ini. Kami bahkan belum bertemu Profesor yang dimaksud dalam buku itu.

Tapi masih hidup bahkan setelah hampir menemui ajal merupakan sesuatu yang patut kusyukuri. Maksudku, kemungkinan hidup setelah jatuh dari gedung lantai 3 dan langsung menghantam aspal itu sangat kecil. Bisa membuka mata saja merupakan suatu keajaiban.

Aku sendiri masih penasaran bagaimana Mark, David, Ex, dan Yuki bisa lolos dari zombie-zombie keparat itu saat berada di lantai 3. Tentunya mereka tidak ikut melompat menyusulku bukan? Aku berasumsi bahwa Jesica dan Fauzia datang untuk membantu. Entahlah, aku pun tak tahu.

Aku turun dari tempat tidurku sambil memegangi kepalaku yang seperti biasa terasa pusing. Mungkin segelas air mineral bisa membantu, mengingat bahwa tak mungkin aku mendapatkan segelas teh manis hangat. Aku berjalan menuju dapur, masih sambil memegangi kepalaku. Sesaat setelah aku mengambil gelas, ia datang.

  “Tumben kau sudah bangun?” tanya Jesica dari belakang, berjalan memasuki dapur.

  “Ah iya, entahlah. Aku hanya terbangun” jawabku sambil mengisi gelas itu dengan air mineral.

  “Mimpi buruk?” tanyanya sambil mengambil gelas. Kurasa ia juga haus.

  “Hmm,… sepertinya tidak. Yang kuingat aku tidur nyenyak sekali” kataku sambil mengingat-ingat.

  “Syukurlah. Kupikir kau akan meminta tolong dan berteriak tak jelas dalam tidurmu lagi, seperti waktu itu” kata Jesica sambil menuangkan air mineral ke gelasnya sesaat setelah aku menuangkan punyaku.

  “Aku begitu?” tanyaku bingung.

  “Iya. Kami sampai harus bolak-balik ke tempat tidurmu untuk memastikan kau tak kenapa-kenapa” jawab Jesica sambil menepuk jidatnya.

Hening sejenak. Aku duduk untuk meminum air mineralku. Setelah minum, ia bertanya lagi. Kurasa ia tak tahan berada di situasi seperti ini.

  “Yang lain sedang ada diluar. Sebenarnya akupun tak tahu mereka sedang apa” kata Jesica tiba-tiba. Sepertinya ia tahu persis apa yang akan aku tanyakan.

  “Hahaha… kurasa kau tahu persis apa yang akan aku tanyakan” jawabku sambil terkekeh.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang