XXXIV

635 96 26
                                    

Hari berikutnya, tak begitu berbeda jauh. Pembeda yang cukup jelas mungkin kali ini Ex banyak menghabiskan waktu dengan kakek dan neneknya. Hari yang cerah ini harusnya jadi hari yang baik, setidaknya, sebelum aku memikirkan apa yang harus kulakukan ke depannya. Ini bukan keputusan yang mudah, kode 'Ex, kau akan tahu kebenarannya' sudah terungkap. Yang artinya, kami harus melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan semua ini. Semakin lama kami berdiam diri, semakin kacau pula dunia karena zombie-zombie sialan itu.

Tapi sekali lagi, ini tidak mudah. Bukan soal bagaimana melanjutkan perjalanan ini, atau soal kekhawatiranku akan kematian. Bahkan secara teknis pun, aku hampir mati. Tak ada alasan bagiku takut akan kematian, kecuali mungkin; dosaku yang sudah bertumpuk. Bukan, ini bukan soal itu. Ini soal perang dalam diriku, perang dengan egoku. Aku berbohong bila aku berkata aku tak mau diam di sini. Tak bisakah kami hanya diam di sini dan menikmati sisa hidup kami yang kurasa tak akan lama lagi? Tak bisakah kami hanya menggunakan detik-detik hidup kami untuk menjalani hidup yang seharusnya, tanpa harus lelah menyelesaikan semuanya? Ah, pada akhirnya pun, pemikiranku selalu begini. Egoku, atau mungkin hanya aku yang brengsek yang bersembunyi di balik kata 'ego'.

Hari ini berlalu dengan singkat seperti yang kubayangkan. Aku menarik nafas pelan dan mengajak semua orang berkumpul di halaman depan rumah, mencoba mengajak mereka untuk membahas apa yang harus dilakukan kedepannya.

"Jadi, seperti yang telah kita tau, kode tentang Ex sudah terpecahkan" kataku memulai pembicaraan.

"Terima kasih, Mam!" seru Ex tiba-tiba sambil dengan senyum di wajahnya, sedikit melirik ke arah kakek dan neneknya.

"Seperti biasa, David. Apa lagi yang tertulis di bukunya?" tanyaku.

"Eh? Buku?" tanya David tiba-tiba. Ia terlihat linglung.

"Iya, buku. Kau pikir buku terlihat seperti apa?" Mark menyela.

"ASTAGA, BUKU!" teriak David tiba-tiba. Ia reflek berdiri. Perasaanku tak enak.

"Kenapa? Ada apa dengan bukunya?" tanya Ex kaget.

"Tertinggal di mobil..." jawabnya dengan suara yang semakin memelan.

"Astaga..." gumamku. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa lagi. Hal yang tentu menjadi beban adalah jembatannya sudah roboh dan kurasa tak ada cara lagi untuk kembali ke sana.

"Lalu bagaimana sekarang? Apa kita hanya akan menunggu kematian tanpa berbuat apa-apa?" tanya Mark. Kalimat yang ia pilih tak cukup bagus.

"Huh? Kau pikir aku melakukannya dengan sengaja? Aku juga tak mau barang sepenting itu tertinggal" kata David yang sepertinya tersinggung.

"Sengaja atau tak sengaja, buku itu tak mungkin bisa berjalan ke sini, David" kata Mark. Sebenarnya, kata-katanya ada benarnya juga.

"Cukup, cukup. Berdebat seperti ini hanya membuang-buang waktu. Aku sudah cukup lelah. Mari lanjutkan saja rapatnya" kataku mencoba memisahkan.

"Tapi, El. Aku benar-benar tak sengaja meninggalkannya di sana" kata David membela diri.

"Dengar anak muda, aku bahkan tak tau apa yang tertulis di buku itu, tapi aku pernah mengalami masa-masa zombie ini, setidaknya 50 tahun lalu. Dan kurasa aku masih ingat beberapa hal tentang cara mengakhiri semua ini" kata Tn. Jonathan tiba-tiba, membuat semua orang melirik ke arahnya.

"Ah, benar juga. Jadi, bagaimana bila Tuan menceritakan kejadian itu pada kami?" tanyaku penuh harap.

"Malam itu adalah malam pertama salju turun. Aku dan yang lainnya hanya berjaga di ruangan besar milik teman kami, sedangkan Daniel, kakekmu, pergi mengikuti sebuah peta ke dalam gua. Ia tak berbicara apapun tentang apa yang ia cari, ia hanya bilang pada kami bahwa ia harus mencari sesuatu. Tak ada yang aneh, sampai kami menyadari bahwa sekelompok besar zombie datang, berkumpul, dan bersiap untuk menyerang. Kami bergegas ke depan dengan seluruh senjata kami, mencoba menghancurkan zombie-zombie itu. Namun, zombie-zombie lain dengan jumlah besar datang lagi. Rasanya seperti perang melawan zombie" kata Tn. Jonathan panjang lebar.

Life in Death 2 : IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang