BTW//LT-24

1.9K 185 13
                                    

Matahari ada jam sembilan pagi memang tidak terlalu terik disertai angin yang berhembus menyapu anak rambutku dengan tenang meski sesudahnya terasa membuat kulit meremamg karena dingin. Musim dingin belum berakhir.

Menghela nafas panjang, aku dapat merasakan ketenangan di atas gedung tertinggi ini. Tidak ada keramaian. Hanya ada pemandangan sepotong kehidupan yang baru aku jalani. Jalan raya di penuhi kendaraan berlalu lalang, orang-orang sibuk dengan tujuannya masing-masing. Tapi satu hal yang membuatku tenang di balkon gedung ini. Aku bisa melihat banyak gedung pencakar langit seolah saling  mengunggulkan diri untuk menjadi yang tertinggi.

"Mengapa kau bisa ada disini?" Aku sontak menoleh. "Mencariku, huh?" Nadanya terdengar angkuh.

Aku tertawa kecil ternyata meskipun kalimat Luke beberapa menit yang lalu berhasil membuatku linglung. Tapi saat mendengar suara Louis yang angkuh seperti biasa, justru malah membuatku yakin bahwa kalimat Luke tidak benar. Aku bangkit berdiri menghadapnya yang berada beberapa meter dari kakiku berpijak. Rambut coklatnya tertiup angin.

"Jangan bercanda. Aku sama sekali tidak mencarimu."

Louis tersenyum tipis lalu berjalan menghampiriku dan berdiri di sampingku menatap pemandangan yang berada di belakang. Aku mengikutinya.

"Louis."

"Hmmm," balasnya sambil tersenyum menatap lurus.

"Mengapa kau bolos?"

Aku meruntuki diriku sedetik kemudian saat menyadari bahwa pertanyaanku sangat bodoh. Kau bercanda, itu sama saja aku mengharapkan ke hadirinnya.

Dia beralih menatapku dengan senyuman miringnya, "Apa pedulimu? Kau mengharapkan aku ada di tengah-tengah kau dan Luke? Untuk apa?"

"Mengapa kau jadi membawa-bawa Luke? Aku 'kan hanya bertanya, meski itu pertanyaan terbodoh yang pernah aku tanyakan," elakku berjalan menuju pintu dan duduk di ubin yang terasa dingin. Dia mengikutiku dan duduk juga di sampingku.

Selama beberapa detik terjadi keheningan, tidak ada yang ingin memulai pembicaraan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang rentetan kejadian yang aneh. Namun tiba-tiba saja Louis bergeser semakin dekat hingga merapat ke tubuhku. Sontak mataku langsung membulat hampir lepas dari tempatnya saat menyadari ternyata kepalanya jatuh ke pundak milikku  mencari-cari posisi yang nyaman setelah itu dia diam menghela nafas panjang.

Aku mematung masih berusaha mengembalikan jantungku yang tiba-tiba berdetak dua kali lipat lebih cepat. Aku hampir kehilangan udara karena sedari tadi aku menahan nafas masih syok dengan apa yang sedang Louis lakukan.

"Lou-Louis." Nada suaraku bergetar akibat jantungku yang sama sekali masih belum terkontrol.

"Kumohon biarkan aku seperti ini," balasnya.

Dapat kudengar suaranya seperti dia memiliki banyak beban. Lelah dan rapuh. Mau tak mau aku mengangguk ragu.

"Tiffany," panggil Louis sambil mengeratkan mantel putih gadingnya sementara aku menjawab dengan gumaman yang tak jelas akibat posisi seperti ini karena cepat atau lambat aku akan terkena serangan jantung.

"Dulu aku mempunyai teman masa kecil. Dia sangat cantik, memiliki senyuman manis, tawaanya berhasil membuatku merasa tenang. Tapi satu hal yang membuatku tidak suka terhadapnya, dia itu cengeng."

Louis membuka suara, pandanganya lurus seperti sedang menerawang ke masa lalu.

"Kami tumbuh menjadi dewasa, dia masih cantik bahkan semakin manis dan semua itu membuatku yakin bahwa aku benar-benar menyayanginya melebihi sahabat. Suatu hari aku berniat membawanya ke sebuah taman kota disitu aku akan menyatakan perasaanku padanya.

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang