BTW//LT-21

1.6K 157 3
                                    

Aku mengurungkan niat untuk melangkah meninggalkan Louis dan langsung menoleh kearahnya yang ternyata sedang memandangi lenganku yang terluka akibat tergores paku. Aku memandangnya heran, mengapa dia bisa melihatnya bahkan aku lupa dengan luka ini, justru nyaris tidak merasakan sakit.

Mengikuti arah matanya yang jatuh pada lenganku. Aku baru sadar bahwa di sana tetesan darah keluar disusul dengan rasa perih yang mendadak terasa. Louis pun berdiri, melangkah menghampiriku dengan matanya yang tak lepas dari luka milikku. Mendadak suara detakan jantungku seirama dengan langkahan kakinya. Aku mengigit bibir bawahku merasa bingung dengan apa yang aku rasakan antara menahan perih atau gugup. Sialan.

Louis membawaku agar duduk di kursi taman. "Diam disini dan jangan kemana-mana."

Aku menurut dengan dudu manis di taman seorang diri disaat Louis pergi entah kemana dan meninggalkanku begitu saja. Lalu melihat ke arah jam tanganku ternyata aku sudah melewatkan jam siaran. Hanya tersisa lima menit lagi dan aku yakin James dan Calum pasti menungguku.



→Louis Tomlinson←

Aku berlari bermaksud kembali ke tempat Tiffany berada dengan membawa air hangat, obat merah dan plester. Aku sedikit khawatir saat melihat lenganya terluka dan mengeluarkan darah. Aku takut dirinya terluka. Sudah cukup aku merasa bersalah atas dirinya dan aku tidak mau menyakitinya yang kedua kali.

Aku melihatnya saat aku hampir di dekatnya. Tangan kananya memegang lengan kirinya. Dia mengigit bibir bawah menahan rasa sakit. Melihatnya seperti itu, rasa bersalahku kian muncul.

Kau tahu, sesungguhnya aku sangat peduli padanya. Tapi, aku tidak mau dia melihatnya. Aku selalu bersikap dingin dan cuek karena aku tidak mau melihat dirinya berpikir keras dengan mengingat-ngingat sesuatu yang tampak tak asing baginya.

"Berikan tanganmu." Datar. Hanya itu yang aku bisa lakukan.

Meski seluruh hatiku menjerit tidak ingin bersikap seperti ini kepada dirinya. Tapi aku harus melalukanya demi dia bisa mengingatku lagi, bisa memilikinya lagi, bersamaku tanpa menyakitnya lagi.

"Tidak mau. Aku harus kembali kembali."

Dia hendak berdiri tapi aku menahan-nya. Lihat, sekarang dia berubah. Begitu keras kepala dan menyebalkan. Tidak seperti Tiffany dulu yang lembut, tidak keras kepala seperti ini.

"Kau tidak boleh kembali sebelum aku mengobati lenganmu."

"Sudah kubilang, aku tidak mau!"

"Kau tahu, aku tidak menerima penolakan. Jadi, duduk dan berikan lenganmu," ucapku tajam.

Akhirnya dia mengendus kesal dan menuruti perkataanku. Terkadang aku juga sedikit terhibur dengan perubahan sikapnya yang menyebalkan dan membuatku jengkel. Aku jadi merasa tertantang. Kapan lagi aku melihat dirinya yang semula lembut, pendiam, tidak memberontak berubah menjadi tidak bisa diam dan hiperbola seperti sekarang?

"Kau memang egois," gerutunya sambil mengulurkan tanganya dengan kesal. Sabarkan dirimu, Louis.

Aku tidak mempedulikan gerutuan Tiffany. Aku memilih aku fokus pada luka di lenganya. Aku pun menyiram air hangat itu ke lenganya.

Dia berteriak. "Louis! kau gila. Ini panas, kau tahu?"

Aku memghiraukan teriakkannya. Lalu aku menuangkan obat merah ke kapas dan memoleskan perlahan ke arah luka goresan itu.

Dia berteriak lagi. "Louis! Bisa kau pelankan sedikit? Ini perih!"

"Bisakah kau diam sebentar saja? Hanya beberapa saat dan semuanya selesai!"

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang