BTW//30

1.8K 186 16
                                    

→Louis Tomlinson←

"Sejak kapan?" Tanyaku memecahkan keheningan di dalam mobil yang terjadi cukup lama.

Aku menahannya agar tetap diam dan menjelaskan semua yang telah dia katakan. Bukan seperti diam dan membuatku di penuhi tanda tanya. Oleh karena itu, aku dengan cepat bertanya kepadanya sehingga dia mengurungkan niatnya yang akan keluar mobil meninggalkanku.

Sejak kejadian di atas panggung, dia langsung menghampiriku dan mengajak pulang. Mau tidak mau, aku menyetujuinya. Awalnya aku bingung dengan dirinya di atas panggung, dia menatapku dengan tatapan seolah merasa bersalah, seperti ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan dan itu mungkin berkaitan dengan dirinya yang tidak mau datang ke pesta Gabriela. Lalu sekarang aku tahu alasan dia tidak mau datang ke pesta itu.

Ternyata dia menyukaiku.

Aku merasa senang, akhirnya rencanaku selama ini yang aku pikir akan sia-sia ternyata berhasil.

Dia menyukaiku, lagi.

"Sejak kapan?" Ulangku lagi setelah menyadari bahwa dia masih tetap diam, tidak mau menjawab. Bibirnya menjadi memerah akibat kecerobohannya sendiri.

"Sejak kapan, Tiffany? Aku yakin, kau mendengarkan aku," tanyaku lagi dengan sedikit memaksa. Kau tahu 'kan, jika aku tidak bisa menahan perkataanku.

"Kau terus bertanya tapi aku tidak mengerti pertanyaanmu, makanya aku diam."

Aku memiringkan posisi duduk ke arahnya. Mencoba melihat wajahnya yang selama ini aku rindukan. Oh Lord, lihat, dia bahkan masih saja manis seperti gadisku yang dulu. Gadis yang belum sempat aku miliki. Begitu menyakitkan.

"Berhenti memandangi wajahku." Dia berkata dengan nada cukup ketus. Walaupun begitu, aku tersenyum kecil saat melihat rona merah yang timbul di pipinya.

"Jika berbicara, lihat lawan bicaramu, jangan melihat ke arah lain. Sungguh, tidak sopan."

Aku mencoba membuatnya kesal karena dia terus melihat lurus ke depan seolah menghindari dariku.

"Kalau begitu sebaiknya aku masuk ke dalam."

"Jangan!" Cegahku cepat sebelum dia membuka pintu mobil penumpang.

Dia menurut dan tetap duduk di sampingku. Lagi, aku mengendus kesal. Apa pemandangan di depan kaca mobil itu lebih menarik daripada wajahku? Dia masih enggan melihatku padahal aku rasa wajahku lebih menarik.

"Aku menuruti ucapanmu agar tetap disini, tapi kau malah mendiamiku. Apa sih yang kau mau?"

Astaga, kapan aku melihat sosoknya lagi yang tidak seketus ini? Aku hanya ingin dirinya yang pendiam dan menjadi gadisku yang manis seperti dulu.

"Yang aku mau hanya kau melihatku bukan menatap lurus ke balik kaca jendela itu," ucapku yang di ikuti dengan dengusannya terdengar seperti rasa kekesalan.

Aku tersenyum kecil. Satu yang membuatku senang dengan dirinya yang sekarang: dia terlihat lebih kuat jika aku membuatnya kesal dan marah bahkan dia berani melawan.

"Apa?" Tanyanya ketus seraya melihat wajahku. Kami berhadapan. Oh, betapa senangnya aku bisa melihat wajahnya sekarang. "Aku sudah melihatmu. Well, sekarang kau biarkan aku masuk ke dalam."

"Kita belum selesai," cegahku lagi. Mengapa dia ingin sekali masuk ke dalam? "Masih banyak yang harus kau katakan padaku," lanjutku.

"Mengatakan apa? Aku rasa, aku tidak mempunyai hal yang harus di katakan kepadamu—oh atau soal hukumanku yang akan berakhir dalam tiga hari lagi, semoga saja kau tidak memperpanjang lagi," sarkasmenya berhasil membuatku seperti di pukul oleh ribuan palu.

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang