BTW//LT~6

2.1K 211 0
                                    

"Siapa yang menyuruh kalian berada disini?"

Lelaki itu menatap aku dan Edward dengan tajam. Sudah sangat jelas dari nada suaranya yang tinggi, dia sosok yang sangat ditakuti oleh semua penduduk sekolah. Aku menatap wajahnya sedikit ketakutan sesekali menyikut siku Edward yang berada di sisiku agar dia berusaha membantuku mencari alasan.

"Sudah kubilang, aku tidak akan membantumu jika sudah begini, justru aku akan menyalahkanmu."

Bisikan Edward membuat aku berdecak kesal. Dia memang benar-benar menyebalkan!

"Mengapa diam?!" Bentaknya lebih keras.

Tiba-tiba datang seorang lelaki berambut kecoklatan dan matanya berwarna biru. Dia mendekat ke arah kami dengan tatapan bingung.

"Apa yang terjadi disini?" Suaranya cukup lembut bisa kutebak bahwa dia memiliki sosok yang ramah dan tidak seperti temannya yang setengah botak itu. "Siapa mereka? Jika mereka junior baru, mengapa bisa berada disini, James?"

Dia berkata ke arah lelaki setengah botak itu dengan sebutan James. Oke, aku sudah tahu bahwa lelaki yang keras itu bernama James dan lelaki yang lembut itu bernama William.

Aku memperhatikan mereka berdua yang tengah berbisik-bisik. Lalu setelah mereka saling berbicara, William menatapku dan Edward dengan tajam. Baiklah, aku tarik kembali ucapanku sebelumnya yang mengatakan bahwa William adalah lelaki yang lembut.

"MENGAPA KALIAN BERADA DISINI?! APA KALIAN MENCOBA UNTUK MELANGGAR ATURAN?"

Sudah kuduga pasti lelaki bernama James ini telah mempengaruhi otak William sehingga dia berubah menjadi seperti monster.

"MENGAPA DIAM SAJA!"

Aku tersentak. Ternyata dia lebih keras daripada James. Aku berbalik menatap Edward yang direspon dengan mengangkat kedua bahunya seolah dia tak mau tahu. Oh baiklah, dia memang benar-benar memegang janjinya.

Aku berbalik ke arah mereka yang menatapku tajam dan berkata, "Aku malas mengikuti upacara yang membosankan itu!"

Beberapa detik terjadi keheningan, mataku membulat hampir loncat dari tempatnya. Segera aku menutup mulut rapat-rapat dengan kedua tanganku sambil meruntuki kebodohanku dalam hati. Mengapa aku malah mengatakan itu sih? Ugh, dasar Tiffany bodoh!

Kau memang bodoh!

"Alasan yang menarik," balas James sambil tersenyum meremehkan.

Lalu mereka berdua saling bertukar pandang seolah mereka sedang merencanakan sesuatu yang sama. Aku yang melihatnya hanya menatap dengan penuh curiga dan sementara Edward dia hanya duduk santai sesekali dia menyeruput teh lemonnya.

Apakah dia sama sekali tidak curiga? Apakah dia sama sekali ingin terkena hukuman? Edward kau sungguh aneh!

"Oke, aku akan memberi hadiah untuk alasanmu itu."

William tersenyum misterius kepadaku. Apa yang akan dia beri padaku? Sebuah skeatboard baru? Ponsel? Sepatu? Baju? Oh, aku memang menginginkan semua itu. Tapi mana mungkin dia akan memberiku semua itu, sudah kuduga hadiahnya adalah sebuah hukuman.

"Hadiahnya adalah.... " Dia menggantungkan kalimatnya sehingga aku semakin mengerutkan keningku tanda sangat ingin tahu dan mungkin wajahku sekarang sudah terlihat seperti orang bodoh. "Lakukan push up, sit up dan keliling lapangan sebanyak sepuluh kali. Sepulang sekolah."

Lalu William dan James pun hendak beranjak pergi tapi terhentikan setelah aku dan Edward memprotes.

"Apa?!" Ucapku dan Edward bersamaan. Aku melirik Edward yang sekarang dia mulai kesal.

"Kau bercanda Lou—maksudku. William?"

"Jangan banyak bicara. Lakukan dan jangan sampai kalian berpikir untuk kabur!" Tekan James.

Aku mendengus, dia selalu saja membentak. Pantas saja rambutnya hilang karena rontok oleh emosinya.

"Sebanyak itukah untuk mengelilingi lapangan dengan lapangan yang seluas itu?"

Catat fakta ini: lapangan disini sangat-sangat luas. Bahkan seluas lapangan golf. Pundakku turun, melemas. Oh Tuhan, bagaimana aku bisa menyelasaikan hukuman jika lapanganya seluas itu? Aku yakin, pasti aku sudah mati konyol di tengah lapangan.

"Kerjakan sesuai perintah dan sekarang kembali ke kelas!"

Aku segera menutup mulut rapat-rapat, jika William sudah bicara demi apapun aku tak bisa membalasnya yang ada aku malah akan salah bicara dan berakhir hukumanku akan bertambah.

Setelah kepergian dua lelaki berdarah panas itu, aku menatap Edward horor. Aku butuh penjelasan darinya, mengapa dia sempat memanggil senior berdarah panas itu dengan sebutan Lou?

"Apa?" Responnya.

Aku tertawa sumbang, ternyata dia merasakan juga bahwa aku telah sedikit mengusiknya.

"Coba—"

"Ini semua salahmu, Tiff. Coba saja kau tidak membawaku kemari dan mengikuti upacara itu, pasti aku tidak akan terkena hukuman seperti ini." Barusaja aku akan berbicara dia seenaknya langsung menyalahkanku seperti ini.

"Mengapa jadi menyalahkanku? Itu salahmu sendiri, siapa suruh kau mau mengikutiku ke kantin?"

Dia tertawa. Aku menaikkan alisku, apanya yang lucu? Dia benar-benar aneh sekarang setelah pulang dari Amerika.

"Kau bodoh, Tiff! Dari awal aku memang tidak mau, tapi kau yang menarik lenganku kemari!"

Benarkah? Baiklah, aku memang bodoh seperti yang Edward bilang—hey, mengapa dia yang mengataiku bodoh? Bodoh!

"Ed, berhenti mengataiku bodoh, bodoh! Dan asal kau tahu, ini semua salahmu, siapa suruh kau tidak membantuku mencari alasan yang tepat."

"Kau juga mengataiku bodoh, idiot! Dari awal kau memang bodoh!"

"Dua kali kau mengataiku bodoh dan ditambah idiot, dua kali, Ed. Sahabat macam apa kau ini?!"

Aku berteriak sambil mengangkat dua jariku tepat di depan wajah Edward. Agar dia puas telah mengataiku bodoh dan idiot. Sampai-sampai, orang yang berlalu lalang tak segan memandangku seolah mereka berkata, "Wanita ini gila?" Sambil menatap ke arah Edward.

Ya. Edward.

Dia sama sekali tidak pernah berteriak, justru dia masih saja tetap tenang dan santai meskipun nada bicaranya pelan tapi perkataannya membuatku emosi.

"Kau memang bodoh, Tiff. Buktinya saja kau tidak bisa mencari alasan yang tepat!"

Aku mendengus kesal. Sudah lelah menghadapi Edward yang sama sekali tidak punya persediaan emosi di dirinya.

"Sudah lelah berteriak? Baiklah, aku akan ke kelas dan sampaikan kepada senior terhormat itu, aku tidak akan menjalankan hukumannya. Sampai jumpa Tiff dan selamat menjalankan hukumanmu sendirian."

Dia berjalan pergi menjauh dariku yang sedang mencerna beberapa kata diucapkan Edward beberapa detik yang lalu.

Tunggu!

"Selamat menjalankan hukumanmu sendirian."

"EDWARD! KAU TIDAK BISA SEENAKNYA SEPERTI ITU! ARGHH!"

Aku teriak histeris seperti kesetanan, aku tidak peduli dengan pandangan orang yang saat ini memperhatikanku. Yang aku pedulikan, berlari kearah Edward dan menahannya agar dia tidak kabur.

Tapi percuma, dewi fortuna berpihak padanya. Edward sudah menghilang dari pandangannku dan lebih berpihaknya lagi dia akan aman karena aku tidak tahu dimana letak kelasnya berada maksudku aku tidak tahu dia masuk kelas apa.

Dasar keriting menyebalkan!

* * *

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang