"Kau mengenal paman Sean?"
Aku masih menatap jalanan di balik jendela mobil Luke. Sedari tadi diam tanpa mau berbicara sepatah kata pun, pikiranku masih terfokus pada pria tua yang mengaku sebagai ayah Louis yang ternyata teman Ibuku.
"Tidak, sama sekali tidak. Aku bahkan baru melihatnya." Luke tak menjawab dan membuat suasana menjadi hening kembali.
Tak butuh waktu lama, akhirnya mobil Luke berhenti di depan gerbang.
"Sudah sampai."
Aku menoleh, melempar senyum kepada Luke. "Terimakasih."
"No problem." Luke membalas senyumanku.
"Aku baru tahu ternyata kau tinggal bersama Louis."
Aku yang hendak membuka pintu mobil terurungkan dan menoleh ke arah Luke lagi yang sedang menatap rumah besar nan luas milik Louis. "Dan aku baru tahu ternyata Louis sudah pindah dari rumahnya yang lama. Tidak buruk, menurutku." Luke mengidikkan kedua bahunya.
Merasa sadar di perhatikan, Luke langsung melihatku yang ternyata masih diam di mobil miliknya.
Luke terkekeh. "Masuklah, udara semakin dingin."
Aku mengangguk dan sekali lagi memberikan tatapan terimakasih sebelum aku benar-benar keluar dari mobilnya.
***
Aku menaiki tiga anak tangga dan membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Aku masuk ke dalam. Gelap. Itu yang aku lihat sekarang. Apakah Louis tidak menyalakan lampunya? Atau dia ketiduran sehingga tidak tahu bahwa sekarang sudah malam?
Lantas aku berjalan menuju saklar lampu berada dan menyalakan lampunya, hingga akhirnya lampu menyala dan ruangan menjadi terang benderang. Merasa lelah, aku melangkahkan kaki menuju kamar, tapi saat aku melewati ruang keluarga, aku mendapati Louis memanggil namaku. Aku berhenti, lantas menolehkan kepala ke arah Louis yang berjalan menghampiriku.
"Darimana saja kau?" Ucap Louis berdiri di hadapanku dengan tatapan curiga. Aku menghela nafas lelah. Apa dia tidak dengar jika aku harus mengerjakan tugas bersama Luke?
"Mengerjakan tugas partner yang di berikan Mr. Schmitd. Kau lupa?"
"Bersama Luke?"
"Ya," jawabku singkat.
"Dan lelaki itu juga yang mengantarkanmu?" Tanya Louis lagi.
"Ya." Aku memutar bola mataku. Bisakah dia berhenti bertanya? Aku lelah.
"Aku yakin kau tidak hanya mengerjakan tugas. Apa saja yang kaulakukan dengannya?" Tanyanya lagi, membuatku kewalahan.
Sebenarnya apa yang di mau? "Mengapa kau bertanya begitu rinci? Memangnya apa pedulimu?" Tanyaku sambil menatapnya menantang. Seketika dia bungkam, terjebak dengan pertanyaanku.
Lalu dia tersenyum miring. "Kau percaya diri sekali, aku tidak peduli padamu. Aku hanya menunggumu kembali karena aku lapar. Jadi, masakan sesuatu untukku."
"Tapi aku baru saja tiba dan aku ingin membersihkan badanku," protesku dengan tindakannya yang mulai semena-mena.
Tiba-tiba dia berjalan menuju lemari kaca. Lalu jari telunjuknya ia tempatkan di kaca lalu jarinya bergerak dari ujung ke ujung. Setelah itu, dia meniup jari telunjuknya seolah terdapat debu. "Lihat lemarinya berdebu, itu karena hari ini kau tidak membersihkan rumah dan malah bersenang-senang dengan lelaki yang sudah kuperingatkan, jangan dekat dengannya."
Dia bersedekap dan bersandar di lemari tersebut. "Dan sebagai hukumannya, kau harus memasakkan sesuatu untuk malam ini. Aku menunggumu."
Lalu dia berjalan menaiki tangga, dan aku masih berdiri menatap punggungnya yang semakin hilang di belokan anak tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Words
Fanfiction"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal terbesar dalam hidupmu? Marah atau menerimanya?" © 2014 by meisyaw