BTW/LT-29

1.6K 163 13
                                    

"Omong-omong kau diundang ke pesta Gabriela malam ini?"

Aku menghentikan pekerjaanku sejenak, menoleh ke arah Louis yang sedang bersandar di sofa dengan tangan yang memegang remote televisi.

"Ya, tapi aku tidak akan datang."

Aku berdiri bertopang tubuh pada tongkat pel yang sedang aku pegang. Kedua alis Louis bertaut saat mendengar jawabanku. Aku memang tidak akan datang dan sudah memikirkan hal itu semalaman.

Karena pertama, aku masih ingat undangan makan malam dari Sean, tak enak juga jika aku tak datang. Kedua, aku harus bisa membujuk Louis agar dia juga tidak usah datang ke pesta itu dan lebih baik datang ke acara makan malam ayahnya. Ketiga, aku ingin menyelamatkan Louis dari suatu hal yang mungkin saja sudah Sophia rencanakan seperti apa yang pernah dia bilang kemarin kepadaku. Aku tidak mau hal itu terjadi. Apalagi semua itu akan menyakiti Louis. Aku tidak bisa.

"Kenapa? Jika kau tak datang berarti kau tidak menghargai Gabriela. Sungguh tidak sopan," jawabnya sambil melipat kaki kanan di atas kaki kirinya.

Sementara aku kembali mengepel lantai. "Bukannya aku tidak mau menghargai tapi aku lebih menghargai undangan dari ayahmu." 

Aku mulai mengepel lantai di hadapan Louis. Aku bisa lihat dari ekor mataku kalau Louis memperhatikan tongkat pel yang sedang aku gerakan. "Lagipula ayahmu juga mengundangmu. Otomatis kau juga tidak akan datang ke pesta Gabby malam ini," lanjutku.

"Tidak bisa," jawabnya cepat. Seketika aku menghentikan pekerjaanku lagi dan menatap Louis dengan tatapan bertanya. "Lebih baik kau tidak usah datang ke acara makan malam itu. Sebaiknya kau datang saja ke pesta Gabby."

"Tidak bisa begitu Louis. Kau dan aku akan datang ke acara makan malam ayahmu," ucapku menegaskan.

"Tidak usah. Kau dan aku harus tetap datang ke pesta Gabby," paksanya tak mau kalah. Dia mulai keras kepala.

Aku mendengus kesal. "No! Pokoknya kau dan aku harus datang ke acara makan malam. Itu akan lebih menyenangkan, bukan?"

Aku tersenyum di paksakan mencoba membuatnya luluh dan mengalah agar dia mau memilih ajakan ku itu.

"Membosankan. Lebih baik menghadiri pesta, disana kau bisa bertemu teman-temanmu, menari sepuasnya dan disana juga ramai di tambah dengan dentuman musik yang heboh. Itu akan menyenangkan," sahutnya.

"Daripada makan malam, kau hanya bisa duduk, berbincang membicarakan hal yang tidak penting dan sunyi," komentarnya.

"Setidaknya aku ingin menghargai undangan ayahmu. Tidak enak juga jika aku tak datang apalagi ayahmu sudah menyiapkan segalanya. Ayolah, kau datang ya, ayahmu pasti akan senang."

Kali ini aku memasang senyum memelas dan memberi tatapan memohon andalanku. Setidaknya Zain pernah luluh akan hal itu.

"Terserah," ucapnya yang berhasil membuatku tersenyum kesenangan meski diakhiri oleh putaran bola mata Louis.

Aku tidak peduli yang penting rasa takutku terhadap rencana Sophia di pesta itu menjadi perasaan lega. Seperti kau barusaja di selamatkan dari bahaya yang hampir membuat nyawamu melayang sia-sia.

Aku juga tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika Louis tidak menurut perkataanku dan tetap datang ke pesta itu. Dia pasti merasa malu atau aku tidak yakin apa itu, tapi sekarang aku bisa bernafas lega.

"Berhentilah menatapku seperti itu. Lebih baik selesaikan pekerjaanmu, lalu buatkan aku sesuatu."

Seketika aku mengerjapkan mata satu kali, menyadari bahwa aku sedari tadi menatapnya. Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal, bingung harus menjawab apa. Lantas tanpa menjawab ucapan Louis, aku pun kembali membersihkan ruang televisi.

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang