Aku mengeratkan mantel tebal sebelum akhirnya turun dari mobil milik ayah. Hari ini salju turun di pagi hari membuatku malas untuk keluar rumah bahkan pergi ke sekolah. Tapi apa daya, mama menyuruhku untuk pergi sekolah karena aku harus mengikuti ujian jika aku ingin cepat lulus.
"Bye, sweetheart."
"Bye, Dad."
Daddy menutup kaca jendela mobilnya sebelum akhirnya melajukan mobil menuju kantor. Hari ini Daddy yang mengantarkanku karena Zain masih tidur di kamar yang dindingnya dipenuhi dengan gambar-gambar abstrak buatannya sendiri. Sempat aku bertanya, untuk apa dia selalu mencoret-coret dinding dimana membuat dinding itu terlihat kotor dan menyeramkan.
Dia hanya menjawab, "Semua ini adalah seni. Jadi kau jangan berkomentar sebelum kau tahu apa seni itu."
Dari disitulah aku tidak banyak berkomentar lagi tentang dinding kamarnya. Masa bodoh, dengan apa yang dilakukan Zain. Lalu aku refleks merogoh saku mantel berniat untuk mengambil ponsel yang bergetar secara tiba-tiba. Aku melihat layar ponsel dan ternyata ada satu pesan masuk dari Zain. Panjang umur sekali dia.
Zainnal : Kau dimana?
Bodoh. Dia bertanya aku dimana? Apa dia tidak tahu jika aku sedang berada di sekolah?
Me : Pikirkan saja sendiri.
Aku kembali berjalan memasuki koridor dengan ponsel dalam genggaman memudahkanku untuk membalas pesan dari Zain jika dia membalas pesanku lagi. Tak lama balasannya aku terima lagi.
Zainnal : Mengapa kau tidak bilang jika sudah pergi duluan bersama Daddy?
Jika aku bilang kepadamu percuma saja. Kau tidak akan dengar. Kau 'kan sedang tidur.
Me : Memangnya kenapa?
Setelah membalas pesan, kakiku tiba-tiba berhenti karena aku merasa didepan kakiku ada sebuah sepatu lain. Aku menengadah melihat siapa yang berdiri di hadapanku. Ini jelas-jelas menghambat perjalananku menuju ruang ujian.
Setelah tahu siapa orang itu sontak aku memutar bola mata. Aku masih kesal denganya setelah apa yang telah dia lakukan terhadapku didepan Calum tempo lalu.
"Apa yang kau inginkan? Mempermalukanku lagi?" Tanyaku ketus sekaligus menyindirnya.
Biarkan saja, aku tidak peduli dengan statusnya sebagai senior lagipula sebentar lagi aku akan setara denganya.
"Sebelumnya maafkan aku, jika kau merasa dipermalukan olehku didepan Calum atau lebih tepatnya lelaki incaranmu." Dia tersenyum lebar saat aku hendak melototinya.
Hey, dia bilang. Lelaki incaranku? Dia kira aku wanita seperti apa?
"Aku tidak mau memaafkanmu."
"Kenapa kau tidak mau memaafkanku?"
"Karena kau telah membuat banyak kesalahan. Pertama; kau membentakku di kantin. Kedua; kau mempengaruhi temanmu Louis sehingga aku mendapat hukuman darinya. Ketiga; kau mempermalukanku didepan Calum. Kau tahu, aku wanita baik-baik di mata Calum dan sekarang kau mencemarkan nama baikku didepan Calum dengan sebutan wanita tidak tahu aturan. Apa semua itu akan termaafkan?" Aku menghela nafas panjang setelah menyemprotnya tanpa tanda titik dan koma.
"Kupikir semua itu bisa termaafkan. Karena, pertama; aku membentakmu di kantin karena itu memang kesalahanmu. Kedua; aku sama sekali tidak mempengaruhi Louis sehingga membuatmu di hukum. Ketiga; aku tidak sengaja berkata seperti itu karena dalam ingatanku kau memang selalu membuat masalah."
Apa?!
Mulutku terbuka lebar, terkejut dengan kalimat terakhirnya. Aku bukan seseorang yang membuat masalah. Aku hanya...ya kau tahu bersenang-senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Words
أدب الهواة"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal terbesar dalam hidupmu? Marah atau menerimanya?" © 2014 by meisyaw