"Gabby!" Aku berteriak sambil berlari menghampiri Gabby yang barusaja datang. Dia pun berhenti dan menoleh ke arahku.
"Apa?" Wajahnya datar. Ayolah, dia memang begitu jika bertemu denganku.
"Kau melihat Edward?"
"Mau apa kau menanyakan kekasihku?"
Aku memutar bola mataku. Dalam hati, masih untung ini masih pagi, jika tidak aku sudah meledak-ledak dihadapannya karena sikap kurang ajarnya. "Bukan urusanmu. Aku ingin menemui sahabatku. Dimana dia?" Ulangku dengan sedikit memaksa.
Akhirnya dia menghela nafas malas dan tak lupa memutar bola matanya. Aku tertawa kecut dalam hati.
"Dia berada di ruang bawah tanah. Tepatnya tempat dimana semua buku-buku bekas disimpan."
"Baiklah."
Aku pun memutar tumitku dan berjalan menuju tempat yang Gabby maksud. Tentunya saat aku membalikkan badan, aku masih bisa mendengar Gabby menggerutu. Tidak heran, gadis itu memang suka sekali mencemooh diriku.
Tidak aku pedulikan dan terus berjalan lurus ke depan melewati beberapa ruang tata usaha. Berbelok kir, aku menemukan terdapat tujuh anak tangga membuatku harus menuruni satu persatu anak tangga tersebut hingga sampai ke di lantai dasar. Aku menatap seluruh koridor yang ada di hadapanku. Semua tampak terang dan cukup ramai. Ada beberapa siswa yang diam disini hanya sekedar duduk-duduk atau berbincang.
Aku berhenti berjalan saat menemukan pintu bening yang kuyakini itu adalah tempat yang Gabby maksud. Tapi saat aku hendak mendorong pintu itu, aku sempat melihat Louis dan Sophia berdiri disela-sela rak buku. Mereka tengah membicarakan sesuatu yang mungkin begitu serius bahkan terlihat seperti sedang bertengkar.
Aku mengerjap sekali mencoba untuk tidak menaruh perhatian kepada mereka sebelum masuk ke dalam. Mengingat bahwa tujuanku datang ke sini untuk mencari Edward. Tapi entah perasaanku saja atau tidak. Ruangan ini sangat sepi mungkin sepertinya hanya ada Louis, Sophia dan aku.
"Mengapa kau memutuskan pertuangan?"
Secara tidak sengaja aku mendengar suara teriakkan dari Sophia. Otomatis aku mematung di tempat. Terkejut atas teriakkanya.
"Kau sudah tau alasannya 'kan?"
Kini, giliran Louis yang berteriak. Kau tahu, sekarang aku diam berdiri di balik rak tepat Louis dan Sophia bertengkar. Sial, aku terjebak. Kuharap mereka tidak menyadari kehadiranku disini.
"Tapi aku menyukaimu, Louis!"
"Tidak, kau tidak menyukaiku. Aku tahu, kau menerimaku hanya memandang ketenaranku. Asal kau tahu, aku terpaksa menerima perjodohan itu karena—"
Tiba-tiba Louis terdiam. Terdengar suaranya seperti rapuh, entahlah.
"Karena kau masih mengharapkan dia yang sudah tidak bisa mengingatmu lagi. Benarkan?"
"Ya! Kau benar. Aku masih mencintainya. Meski dia tidak mengingatku lagi. Tapi aku akan tetap menunggu dan berusaha membuat dirinya kembali mengingatku, puas?!"
Entah mengapa, jika Louis berkata seperti itu. Aku merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk jantungku. Sesak. Ini aneh. Semuanya aneh.
'Aku menyukaimu karena aku peduli padamu!'
Teriakkan itu kembali berputar dalam ingatanku. Namun aku berusaha menyangkal dan menetapkan dalam hati bahwa mana mungkin Louis bersungguh-sungguh mengucapkan itu semua. Bahkan dia menyuruhku melupakannya. Jangan bercanda, mungkin dia hanya ingin mengancamku agar aku tidak mendekati Luke lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Words
Fanfiction"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal terbesar dalam hidupmu? Marah atau menerimanya?" © 2014 by meisyaw