"Sialan!"
Aku duduk disebelah Edward dengan nafas yang membara serta tak hentinya menggerutu dan menyumpahi senior kejam itu. Dia memang menempati janjinya hingga aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam kelas sampai istirahat tiba.
Alhasil, aku harus menepati janjiku dengan mengerjakan hukuman bodoh itu. Aku juga terpaksa harus berjemur di bawah teriknya sinar matahari. Benar-benar kelewat sial.
Hal itu membuat tenggorokanku terasa kering, aku haus. Aku menengok ke setiap sudut meja hingga tidak sengaja mendapati Edward tengah menggenggam segelas es kopi. Tanpa permisi, dengan gerakan cepat aku langsung merebut minuman tersebut. Tidak pedulikan dengan protesan Edward hingga di detik itu juga aku menghabiskan semua minuman tersebut hingga tak bersisa sedikitpun.
"Kau kenapa? Seperti sudah dikejar hantu saja."
Edward menatapku dengan tatapan keheranan. Sebesit kemudian aku tersenyum licik kearahnya hingga dia menaikkan sebelah alisnya.
Jangan salahkan aku, jika aku akan membalas dendam kepadanya. Kau ingat janjiku saat kemarin lalu? Pada saat Edward kabur dan tidak ingin menjalankan hukuman? Dan lihatlah sekarang, aku yang menjadi korbannya. Oh, tapi tidak masalah. Aku akan membalasnya agar dia bisa merasakan apa yang aku rasakan.
"Akhirnya tanpa aku sadari, aku bertemu denganmu juga." Aku tersenyum licik kearah. Tak menjawab pertanyaannya.
"A-apa?"
"Ed, kau harus merasakan apa yang aku rasakan!" Ucapku dengan menekan di setiap kalimat.
"Rasakan apa? Aku tak mengerti." Dia menggeleng seolah dia tidak tahu apa-apa.
"Ayolah Styles, jangan berpura pura."
"Berpura pura apa? Aku tidak mengerti."
Benarkah? Dia sama sekali tidak tahu? Aku menyipitkan mataku, sangat heran dengan ekspresi Edward yang seketika menjadi tegang, takut dan cemas. Aneh, aku 'kan hanya bercanda mengapa dia jadi tegang seperti itu?
"Kau lupa, kau meninggalkanku ketika saat senior kejam itu menghukum kita. Lalu kini aku yang menjadi korbannya. Ditambah hukumanku menjadi berat lagi, Ed. Makanya kau harus merasakan apa yang aku rasakan." Jelasku panjang lebar.
Seketika itu dia menarik nafas panjang dan wajahnya menjadi lega. Ini sangat aneh, mengapa aku mengatakan 'berpura-pura' dia menjadi tegang? Apa dia sedang berpura pura?
"Oh hanya itu, kukira apa. Maafkan aku, waktu itu aku harus pergi ada urusan yang tidak bisa kutinggalkan. Omong-omong mengapa hukumanmu menjadi berat?" Ulangnya lagi. Mengingat kejadian tadi emosiku menjadi naik lagi.
"Kau tahu, senior kejam itu telah menganiaya diriku sampai tenggorakanku kering."
"Lalu?"
Aku mengambil nafas panjang. "Dia menjemurku di bawah sinar matahari sampai rambutku panas dan kulit menjadi kotor penuh keringat seperti habis berjemur di pantai. Ditambah lagi senior tidak manusiawi itu melarangku mengikuti jam pelajaran terakhirku.
"Dia telah mempermalukanku didepan Calum. Bayangkan Calum, Ed. Lelaki yang aku kagumi semasa sekolah menengah pertama dulu. Senior itu benar-benar menyebalkan. Dia pikir dia itu siapa? Hanya sebatas ketua OSiS dan bukan kepala sekolah sekaligus pemilik sekolah ini 'kan?"
Edward mengangguk tapi matanya berkedip-kedip. Aku tak menghiraukannya karena masih asik dengan ceritaku. Edward harus tahu betapa kejamnya senior itu.
"Lalu dia menambah hitungan push up, sit up dan mengelilingi lapangan yang luas itu dua kali lipat! Bayangkan Ed, aku lelah oleh senior kejam itu. Yang berlagak keren dan merasa paling tampan padahal suaranya itu sangat—"
"Sangat apa?"
Kalimatku terpotong setelah mendengar suara yang ingin membuatku menjatuhkan diri ke dalam jurang tak berdasar. Aku menatap Edward horor. Mengapa dia sama sekali tidak memberitahu bahwa senior sialan itu ada di belakangku?
"Aku sudah memberitahumu, Tiff," beritahu Edward seolah dia bisa membaca pikiranku. Mau tak mau aku harus menghadapi senior itu.
"Sangat apa, Tiff?" Ulangnya lagi.
Aku pun membalikan tubuh sehingga bisa melihat dirinya bersedekap. "Sangat indah maksudku." Aku menyeringai tak jelas.
"Ow, pujian yang indah, duduklah." Ucapnya dengan nada mengejek.
Hey, mengapa dia yang menyuruhku duduk? Ini 'kan tempatku dan Edward. Tanpa mau memprotes lagi aku pun duduk diikuti dirinya yang duduk di sebelahku.
"Edward Styles, coba kau ceritakan semua tentang diriku padanya agar dia bisa lebih menghormatiku."
Dia tersenyum meremehkan kepadaku seolah dia berharap aku akan meminta maaf dan bertekuk lutut dihadapannya. Tapi kenyataannya aku tidak akan pernah melakukan itu.
"William Tomlinson adalah seorang ketua osis di Brussles Graz High School." Edward mulai berbicara.
"Ya, aku tahu dan semua orang pun tahu," komentarku.
"Dia adalah ketua osis yang paling ditakuti di sekolah ini."
"Aku tidak takut padanya."
"Dia berada di kelas IPA-1 dan termasuk siswa yang paling cerdas di sini."
Aku masih bersikap biasa saja, meskipun ada sedikit rasa kagum kepadanya. Aku akui dia memang cerdas.
"Dia juga adalah pemilik sekolah ini yang bekerja sama dengan Simon Cowell dalam pembangunannya."
Sontak aku tersedak es kopi yang hendak aku teguk. Apa katanya? Pemilik sekolah ini? Tidak mungkin! Jika dia pemilik sekolah ini, maka habislah aku. Mau disimpan dimana wajahku dan pasti dia akan semakin besar kepala. Kini dia sedang tersenyum lebar kearahku. Maksudku, dia tersenyum penuh kemenangan. Ini tidak bisa dibiarkan. Edward pasti berbohong.
BRAK!
Aku menggebrakkan meja lalu berdiri. "APA?! Dia pemilik sekolah—yang benar saja, Ed? Ini tidak lucu Edward." Aku melototi Edward berharap dia berpihak padaku.
"Tidak ada kebohongan disini Tiffany Alvord Malik dan kau harus tahu juga bahwa Edward adalah temanku."
Tubuhku semakin menegang. Aku tak berani meliriknya. Aku tak berani. Aku malu, begitu banyak yang aku tak tahu tentangnya. Oh Tuhan, jika aku bisa menghapus ingatan seseorang, aku akan hapus ingatannya tentang aku yang membicarakannya bahwa dia hanya pantas sebatas ketua osis saja.
Rasanya aku ingin menghilang saja dari bumi ini, sungguh.
"Duduklah Ms. Malik, kau pasti pegal dengan hanya berdiri mematung seperti itu."
Aku harus meyakini diriku jangan sampai aku terbuai dengan kata-kata manisnya itu. Aku pun duduk kembali masih tidak berani berbicara. Aku menatap Edward dengan tatapan bertanya dan dia membalas tatapanku dan seolah berkata "akan aku jelaskan".
"Well, karena kau sudah tahu semuanya. Kupikir kau harus menerima hukuman lagi karena ucapanmu itu padaku. Kau tahu, dengan ucapanmu itu, kau sudah menjatuhkan harga diriku sebagai pemilik sekaligus ketua osis disini."
Hukuman lagi? Yang benar saja!
Dia benar-benar membuatku ingin menebas lehernya dengan kapak.
"Kau tidak semudah itu melakukannya."
Seketika aku berhenti mendengus kesal. Aku pun langsung melirik kearahnya dengan horor seakan dia baru saja membaca pikiranku.
* * *
![](https://img.wattpad.com/cover/21630615-288-k776970.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Words
Fanfic"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal terbesar dalam hidupmu? Marah atau menerimanya?" © 2014 by meisyaw