Aku berjalan dengan hati-hati saat memasuki area sekolah. Melirik setiap sudut hanya untuk memastikan bahwa aku tidak akan melihat Louis bahkan bertemu denganya. Aku sedang menghindar darinya, menghindar dari pengawasanya dan menghindari suaranya yang membuat gedang telingaku seolah akan pecah.
Setiap kali ada seorang lelaki yang melewatiku, aku selalu menyelidikinya bahwa itu bukanlah Louis. Kau tahu, saat ini aku seperti seorang buronan karena kemarin sepulang sekolah aku tidak tinggal lagi di rumah Louis lagi. Aku takut jika aku pulang ke rumahnya, dia akan membentakku habis-habisan dan memperlakukan diriku semena-mena.
Lagipula Mama tidak mengizinkanku untuk tinggal bersama Louis selama aku mengikuti ujian akselerasi untuk besok dan dua hari ke depan. Aku sedikit senang karena aku merasa bebas tapi aku juga merasa takut. Jika nanti aku bertemu dengannya, dia akan menghabisiku tanpa ampun. Mengapa hidupku harus terjebak di dalam hidupnya?
"Tiff!"
Seseorang meneriaki namaku. Lalu aku melirik ke semua sudut lorong mencari seseorang yang memanggilku. Tak lama teriakkanya muncul lagi. "Disini!" Aku pun menoleh ke arah sumber suara yang ternyata Calum.
Aku sempat terkejut dalam ketidakpercayaan saat melihatnya berdiri di ambang pintu tepat dua kelas di depan sana. Aku mulai menghampirinya. Tapi, seketika aku berhenti berjalan dan mataku terbeliak lebar mungkin merasakan suara detakan jantungku seperti sedang berkonser riya. Sial, aku gugup.
"Kau Tiffany 'kan?"
Oh astaga! Suara, senyuman dan mata hampir membuatku tidak sadarkan diri. Tuhan mengapa diri-Mu menciptakan makhluk seperti dirinya? Sehingga aku tidak bisa membedakan mana malaikat dan mana dirinya.
"Hey, kau baik-baik saja?" Sentuhannya di pundakku membuatku terbangun ke dunia nyata. Sial, pasti dia melihatku seperti gadis bodoh.
"Ye-yeah, aku baik." Aku menyeringai lebar yang di susul tawaan dari Calum.
"Ada apa kau memanggilku?" Tanyaku heran, tak biasanya dia memanggilku.
"Aku hanya ingin menawarimu sebuah pekerjaan."
Otomatis, kedua alisku mengerut. "Pekerjaan?"
"Masuklah, aku akan menjelaskanya."
Lalu dia mempersilahkanku masuk ke dalam sebuah ruangan yang terdapat beberapa alat untuk rekaman. "Ini adalah studio radio."
Tiba-tiba Calum duduk disebuah bangku dengan di atasnya berserakan kertas yang bertulis: "Dicari penyiar radio."
Dan disaat inilah aku tersadar pekerjaan apa yang dimaksud Calum.
"Kau pasti sudah tahu maksudku, Tiff."
Calum membereskan kertas tersebut dan aku masih diam berdiri memperhatikan Calum membereskan kertas itu. Aku sempat berdebat dengan pemikiranku, apakah aku mau menjadi penyiar radio? Berbicara dengan panjang-lebar didepan pengeras suara dengan aku yang tidak tahu apakah orang-orang akan mendengarnya?
Itu sama saja menghabiskan energiku dengan sia-sia. Tapi melihat Calum yang sedang membutuhkanku, tak ada salahnya aku menerima tawaran itu. Bisa saja jika aku menerimanya akan membuatku semakin dekat Calum.
"Calum—"
"Cal, kau sudah mendapatkan calon penyiarnya?"
Aku menutup mulutku rapat sebelum aku melanjutkan ucapanku. Kau tahu, senior botak itu datang lagi dengan seenaknya tanpa mengetuk pintu. Mengapa setiap aku jauh dari Louis, aku malah dekat dengan si botak ini?
"Oh hey, kau rupanya."
Lihat senyuman yang terlihat palsu itu. Aku ingin muntah melihatnya. Lantas, aku membalasnya dengan fake smile. Aku masih kesal terhadapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Words
Fanfiction"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal terbesar dalam hidupmu? Marah atau menerimanya?" © 2014 by meisyaw