Aku pun keluar dari mobil Louis dan tidak lupa membawa semua barangku memasuki rumahnya. Berjalan melewati beberapa sofa lalu menaiki anak tangga dengan susah payah karena tasku yang kelewat berat dan ditambah Mama memasukkan semua barangku yang tak penting. Sempat aku berpikir, Mama ini mengusirku dari rumah atau bagaimana. Tinggal di rumah Louis hanya seminggu, tapi barang persediaanku melebihi batas waktu seminggu.
Merentangkan semua otot-ototku, aku berjalan ke kamar mandi. Menyalakan air untuk mengisi bathub sambil menunggu airnya penuh aku menanggalkan pakaianku dan masuk ke dalam. Air hangat disertai wangi apel langsung menyergap. Aku merasa semua rasa pegal itu hilang mengalir begitu saja oleh air. Setelah merasa cukup, aku pun mengambil handuk dan membukusnya pada tubuhku. Keluar kamar mandi, lantas aku segera memakai pakaianku dengan cepat agar aku bisa lebih cepat membereskan barangku dan segera tidur.
Sialnya, perutku tidak bisa dibiarkan kosong begitu saja. Aku pun keluar kamar dan berjalan menuruni anak tangga bermaksud untuk ke dapur. Siapa tahu, disana aku menemukan makanan. Tapi saat aku baru sampai di lantai dasar, aku melihat Louis sedang terburu-buru dan sepertinya sedang mencari sesuatu.
"Sial!" Dia menggerutu kesal.
Merasa tidak peduli dengan aktivitasnya, aku lebih memilih terus berjalan ke arah dapur. Untuk apa aku mempedulikannya, dia juga tidak peduli padaku.
"Tiff, apa kau melihat kunci mobilku?" Aku berhenti melangkah dan menoleh ke arah sambil tersenyum lebar. Ternyata dia membutuhkanku juga.
"Jangan merasa bahwa aku membutuhkanmu. Aku sama sekali tidak membutuhkanmu. Aku hanya bertanya. Jika kau tidak melihatnya, aku bisa kembali mencari kunci itu sendiri."
Hah! sombong sekali. Baru saja aku berpikiran bahwa dia membutuhkanku, aku akan memberitahunya. Tapi jika dia sudah berkata seperti itu, jangan harap aku akan membantunya.
"Tidak," jawabku singkat dan kembali kepada tujuan pertamaku.
"Aku serius."
Jangan dengarkan si kepala besar itu Tiff. Berjalan-lah terus, perutmu yang membutuhkanmu sekarang bukan dia.
"Ayolah ... ini bukan waktunya untuk balas dendam. Aku sedang buru-buru."
Oh rupanya, dia membuntutiku. Lihat siapa yang sekarang membutuhkanku. Dia 'kan? Sungguh begitu naif.
Menghelas nafas sejenak berusaha bersabar, aku menoleh lagi. "Kau bilang, kau tidak membutuhkanku. Jadi untuk apa kau bertanya kepadaku?"
"Karena aku tahu, kau berbohong. Kau sebenarnya tahu dimana kunci mobilku!"
Tuhan. Sekarang aku tahu sikap aslinya, selain dia naif ternyata dia begitu pelupa. Dan sekarang aku ingin tertawa.
"Ayolah, hanya sebuah kunci mobil saja. Kau begitu susah untuk diajak kerjasama."
Wajahnya memohon seperti anak berumur lima tahun yang memohon kepada ibunya untuk dibelikan permen. Sungguh kejadian yang langka. Kapan lagi aku membuat seorang Louis William yang merupakan senior ditakuti seluruh warga sekolah memohon kepada gadis bahkan adik kelasnya sendiri.
"Baiklah, karena aku masih mempunyai rasa kasihan terhadapmu aku akan memberitahu."
"Hey, aku tidak butuh belas kasihanmu!" Protesnya.
Aku memutar bola mataku. "Kau melemparnya ke meja di ruang televisi, Stupid."
Tanpa mengucapkan terimakasih dia langsung berlari ke ruang televisi untuk mengambil kunci mobilnya.
"JAGA RUMAH INI, JANGAN MEMBUAT KACAU ATAU AKU AKAN MEMBUNUHMU. AKU PERGI!"
Lagi, aku mendengar suara cemprengnya yang hampir memecahkan gendang telinga. Astaga, apa dia tidak menyadari bahwa suaranya seperti radio tua? Lalu apa itu? Dia menyuruhku menjaga rumahnya jika aku mengacau, dia akan membunuhku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Words
Fanfic"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal terbesar dalam hidupmu? Marah atau menerimanya?" © 2014 by meisyaw