BTW//LT~10

1.9K 194 0
                                    

"Lebih cepat sedikit! Kau lambat sekali seperti siput!"

Aku hanya mendengus kesal. Ingin sekali rasanya menendang bokong senior yang berada didepanku ini sekarang juga. Tapi apa daya, jika aku menedangnya pasti hukumanku akan bertambah dan bertambah lagi.

Dia dengan seenaknya menyuruhku membawakan semua barang-barangnya yang sangat berat nan banyak sampai ke kelas. Belum lagi aku membawa barangku dan semua bukuku yang akan aku pindahkan ke loker baru, otomatis aku bergerak agak lambat karena barang yang dia bawa begitu banyak.

"Senior gila!" Aku menggerutu sambil sibuk dengan tasnya yang jatuh ke lantai.

Setelah berhasil mengambil tasnya aku menegakkan tubuhku dimana ternyata senior gila itu sedang menatapku. Pandangannya lurus ke arahku tepat dimanik mata. Entah apa yang aku rasakan sekarang. Mata biru samudranya mengingatkanku pada seseorang tapi aku juga tidak terlalu mengingatnya.

"Kau mengatakan apa?"

"Aku tidak mengatakan apa-apa."

"Aku dengar kau mengataiku senior gila 'kan?"

"Jika kau mendengar, mengapa bertanya?"

Aku menjawabnya tak kalah sinis. Oh tidak! Dia mulai marah, dia menggeram seperti singa yang kelaparan. Matanya kembali menatapku tajam. Mengapa dia sering sekali marah? Aku tidak tahan melihat mata tajamnya itu menakutkan.

Alhasil, aku membuang muka darinya hingga pandanganku berakhir pada sebuah kerumunan orang dekat mading.

Penasaran, aku pun menghampiri mading itu tanpa menghiraukan panggilan dari senior gila itu. Masa bodoh dengan suara cemprengnya, yang pasti aku sangat penasaran dengan isi mading itu. Siapa tahu disitu tertera tentang pembagian kelas

"Tiff!" Seseorang menepuk pundakku membuatku menoleh ke arahnya.

"Oh, hai Alice."

"Kau sudah melihat mading?" Tanyanya dengan wajah yang senang. Kau tahu, Alice tak henti-hentinya tersenyum lebar.

Aku menggeleng.

"Kalau begitu, lihatlah dulu!" Ucapnya lagi tak kalah senang.

Aku hanya mengangguk dan berjalan kearah kerumunan orang. Sesampainya, aku melihat para murid ada yang terlihat begitu puas dan ada juga yang tidak puas. Sementara aku mencoba mencari namaku yang tertera dimading.

Semoga sosial, sosial, sosial.

Aku terus mengucapkan kalimat itu berulang kali. Aku tidak mau masuk kelas ilmu alam. Pokonya tidak mau. Aku akui, aku terlalu bodoh jika disangkut pautkan dengan jurusan ilmu alam. Jelas bukan keahlian diriku.

Mataku terus menyapu setiap nama yang ada didinding mading itu hingga pada akhirnya namaku jatuh tepat pada kertas yang bertuliskan:

'X-Social-1'

Aku senang dan aku tak percaya. Ternyata Tuhan mengabulkan do'aku. Saking tak percayanya aku menjatuhkan semua barang yang ada di tanganku dan berteriak bahagia sambil memeluk Alice yang ada di sebelahku. Aku tidak peduli dengan tatapan para murid sekarang dan mereka yang menganggap aku aneh. Aneh karena aku termasuk orang yang bahagia jika mendapat jurusan sosial padahal semua yang diinginkan para siswa jurusan ilmu alam.

Aku berpendapat seperti itu karena aku melihat sebagian siswa yang terlihat kecewa karena mereka mendapat jurusan sosial dan ingin protes lalu dipindahkan ke jurusan ilmu alam. Padahal mereka saja yang berlagak pintar menginginkan jurusan ilmu alam.

Kau tahu 'kan jika masuk jurusan ilmu alam perlu memerlukan otak yang bisa dibilang pintar. Tapi kemampuanku belum bisa terbilang pintar karena aku pernah berpengalaman pada masa sekolah menengah pertama aku mendapatkan nilai terburuk dalam pelajaran ilmu alam. Maka dari itu aku berpendapat bahwa aku memang tidak ahli dalam jurusan ilmu alam.

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang