BTW//LT-17

2.2K 185 3
                                    

"Terima ini." Louis kembali dengan menyodorkan segelas kopi panas kepadaku. Aku pun menerimanya.

Setelah aku dan dirinya berlarian kesana-kemari seperti anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran dan membuat kehebohan sepanjang lorong hingga seseorang menghalangi jalanku. Aku tersandung dan akhirnya aku tertangkap dan membawaku ke taman.

Lalu kini dia diam saja, tidak bereaksi ataupun membentak seperti biasanya. Dia sibuk dengan kopi miliknya. Hal itu membuat merasa sedikit takut karena sikapnya itu tidak seperti biasa.

"Kau tidak akan memarahiku?" Akhirnya aku berbicara setelah keheningan terjadi.

"Untuk apa aku memarahimu?" Tanyanya balik dan tidak menatap lawan bicara.

"Ya ... karena sudah dua hari aku tidak kembali ke rumahmu."

"Aku sudah tahu alasanya dari ibumu. Aku tidak akan memarahimu. Fokuslah dulu ke ujianmu besok," ucapnya dengan nada yang datar.

Aku menghela napas panjang. Baguslah kalau dia mengerti sehingga aku tidak usah mencari-cari waktu yang pas untuk mengatakan alasan yang sebenarnya.

"Tapi, hukumanmu belum selesai, ingat itu."

Seketika mendengus kasar. Kukira setelah ini, dia akan membebaskanku dari hukuman sialan itu. Ternyata ia masih mengingatnya.

"Sedang apa kau bersama Luke dibelakang sekolah?"

Aku tertegun sesaat merasa tak menduga mendadak Louis membicarakan soal Luke. "Hanya membicarakan sebuah perjanjian," jawabku jujur.

Entah mengapa, aku merasa aneh dengan suasana seperti ini. Jujur saja ini pertama kalinya kami bertemu tanpa harus ada teriakkan dan umpatan.

Louis melemparkan gelas kertas bekas kopinya tepat ke dalam tempat sampah sebelum menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan yang justru membuatku menelan ludah susah payah akibat tatapan matanya itu yang begitu lekat padaku.

Astaga, mengapa jantungku malah berdebar tanpa alasan?

"Perjanjian apa? Aku beritahu kepadamu, jangan pernah mendekatinya. Aku tidak mau kau—"

Tiba-tiba dia berhenti, dilihatnya wajah Louis yang pucat dan kalang kabut. "Pokoknya kau tidak boleh dekat denganya!" Dia tiba-tiba kembali berteriak tapi kali ini terdengar sedikit frustasi.

Aku yang kaget sekaligus merasa marah atas nada suaranya yang tinggi tersebut balas tak kalah keras. "Memangnya kenapa? Apa Luke seseorang yang berbahaya, sehingga aku tidak boleh mendekatinya?"

Bagaimana tidak, dia melarangku mendekati Luke tanpa alasan yang jelas. Memangnya dia siapa? Dia hanya orang lain bagiku, tapi karena sebuah hukuman sialan itu aku harus bertanggung jawab dan terpaksa mengenalnya.

"Kau tidak perlu tahu alasanya. Kau harus turuti perkataanku!"

"Tapi—" Aku berhenti ketika melihat reaksi Louis yang tiba-tiba berdiri di hadapanku dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dijelaskan.

"Sudah aku bilang, jangan pernah mendekatinya! Turuti saja apa kataku, apa susahnya?!" ucapnya dengan nada menekan dan matanya menatapku tajam.

Aku tidak tahan lagi dengan segala macam aturan dan perintahnya pun ikut bangkit. Aku hanya ingin bebas darinya. Dia bukan siapa-siapa bagiku. Bahkan Mama, Daddy, Zain dan Niall pun tidak pernah mengaturku seperti ini. Dia pikir dia siapa?

Aku mengambil langkah lebih dekat namun dia mundur satu langkah. Aku sudah lelah dengan sikapnya, kali ini aku tidak boleh kalah darinya. Dia bisa mengancamku dan aku juga bisa.

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang