BTW//LT-27

1.6K 150 8
                                    

→Tiffany Malik←

"Sepertinya besok aku akan pulang larut."

Aku memecah keheningan. Pandanganku tak lepas dari Louis yang sedang menyantap masakanku. Sementara aku duduk di hadapannya, menemaninya.

Aku heran, mengapa dia pulang selarut ini? Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi kuurungkan niatku untuk itu, tidak enak. Apalagi saat melihat wajahnya sangat kelelahan.

"Aku dan Luke akan melanjutkan tugas yang diberikan Mr. Schmitd," lanjutku.

"Oh."

Aku mendesis sebal. Sampai kapan dia terus seperti ini?

"Louis," panggilku.

Lalu dia menatapku sebentar sebelum kembali menyuapkan satu sendok sup ke dalam mulutnya.

"Sebenarnya kau ini kenapa?" Merasa kesal, akhirnya aku berteriak membuatnya berhenti mengunyah dan menatapku aneh.

"Aku baik-baik saja. Ada apa denganmu? Tiba-tiba saja berteriak seperti itu."

Baik-baik saja dia bilang? God, dia bahkan kembali menyuapkan supnya seolah semuanya baik-baik saja. Padahal aku yakin dia sedang mencoba menghindari topik ini.

"Aku sangat yakin, kau tidak baik-baik saja. Coba katakan, apa salahku? Kau tahu, dengan sikapmu yang terus mendiamiku seperti ini aku tersiksa." Aku memelankan nada suara di akhir kalimat, tiba-tiba saja aku malu untuk melihatnya, jadi aku menunduk.

Bodohnya aku, mengapa aku main asal bicara saja! Jika dia menyadari bahwa aku mengkhawatirkannya, bagaimana?

"Kau ini bicara apa? Sudah kubilang, kau tidak punya salah apapun."

"Lantas, mengapa sudah dua hari ini kau mendiamiku layaknya aku ini orang asing?"

"Jika berbicara, lihat lawan bicaramu, bukannya menunduk seperti itu. Jika kau ingin dihargai, mengapa kau tak bisa menghargai."

Sontak aku menegakkan kepalaku, menatapnya yang sama sekali tidak berekspresi. Tapi membuatku sedikit kesal karena dia mengikuti kalimatku beberapa hari yang lalu. 

"Itu kalimatku, mengapa kau ikuti?"

"Itu hakku, mengapa kau yang protes?"

"Hey!"

Aku berseru dengan timpalannya yang justru membuatku jengkel.  Sekarang aku menyesal telah membuatnya kembali cerewet.

"Ngomong-ngomong mengapa kau jadi bersikap seolah peduli padaku—maksudku, mengapa tidur di sofa? Kau menungguku?"

Pertanyaannya sontak membuat pipiku memanas, aku tidak tahu harus menjawab apa, sialan.

"Aku … aku ...." Aku gugup, bingung harus menjawab apa. Sebenarnya aku pun tidak tahu mengapa aku melakukan itu bahkan aku malah memasak sup tersebut khusus untuknya. Aku menggeleng cepat menepis segala kemungkinan. "Mengapa kau malah bertanya seperti itu? Justru aku yang seharusnya bertanya, mengapa kau pulang selarut ini? Darimana saja? Jangan-jangan—"

"Hey, jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku tidak seburuk itu."

Lantas dia beranjak pergi meninggalkanku dengan senyuman kemenangan.  Dia kesal terlihat dari wajahnya.

***

"Selamat menikmati waktu istirahat kalian, bye!"

Aku mengakhiri siaran radio bersama Calum dan James. Mereka berdua langsung menyerbu sofa sementara aku menggantungkan headphone pada tiang microphone. Aku hendak menghampiri mereka tapi tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. James yang menyadari itu langsung menatapku seolah menyuruh agar aku membukakan pintunya. Aku mengendus malas.

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang