BTW/LT-26

1.5K 155 7
                                    

Semenjak kejadian di mobil dua hari yang lalu, entah perasaanku saja atau bukan tapi Louis menjadi berubah. Dia tidak lagi berteriak, dia tidak lagi memprotes, dia tidak lagi memberikan tatapan mengancam. Bahkan saat aku bersama Luke, dia sama sekali tidak menghampiriku dan melarangku agar tidak dekat-dekat dengan Luke.

"Tiffany."

Seseorang memanggil namaku, aku menoleh dan aku mendapati Luke dengan ke-dua buku tebal di pangkuannya. Aku hampir saja lupa bahwa sekarang aku sedang mengerjakan tugas kelompok bersama Luke. Di tambah aku dan Luke tidak lagi saling adu mulut lagi, kami memutuskan untuk berdamai.

"Ya?" Aku balik bertanya.

"Sedari tadi kau melamun, ada apa?" Pertanyaannya membuatku bingung, aku sama sekali tidak melamun dan aku berusaha keras untuk tetap fokus tapi saat melihat Louis melewati kami begitu saja membuatku berpikiran yang tidak-tidak.

Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Louis dan aku juga yakin Louis melihatku bersama Luke, tapi dia seolah tak peduli dan itu semua membuat perasaanku tak nyaman. Ada apa dengannya? Ada apa denganku?

"Aku baik-baik saja." Aku melempar senyum kepada Luke. Tapi, dia malah mengerutkan keningnya tanda bahwa dia tahu, aku hanya tersenyum palsu.

"Aku melihatnya," ucapnya tiba-tiba, membuatku kembali menoleh.

"Melihat apa?" Kedua alisku mengkerut.

"Melihat sorot mata kekhawatiranmu kepada Louis." Oh, aku terkejut. Mengapa dia selalu tetap sasaran?

"Ya, kau memang benar. Aku khawatir dengan sikapnya yang berubah." Aku menghela nafas sebelum melanjutkan, "Awalnya aku merasa senang bahwa dia tidak menyuruhku ini-itu lagi, tapi aku juga merasa tak nyaman dengan sikapnya yang tiba-tiba saja berubah. Dia menjadi banyak diam, tidak banyak bicara dan itu membuatku merasa serba salah."

"Dan itu alasan mengapa kau selalu menolak untuk menuruti apa yang kumau? Meskipun kau sudah berjanji." Luke menambahkan yang membuatku terdiam, merasa bersalah.

Aku selalu menolak apa yang selalu Luke perintahkan kepadaku. Meski aku sudah berjanji. Itu semua karena aku selalu terbayang oleh ucapan Louis yang selalu mengancamku disertai tatapan tajamnya yang selalu membuatku tidak berdaya.

"Bukan begitu maksudku, Luke. Aku hanya—"

"Aku tahu. Mungkin ini balasan untukku karena dulu aku sering menyalahkannya ketika aku tidak selalu menjadi nomor satu."

Aku mencoba menjelaskan tetapi Luke memotong ucapanku yang membuatku tidak mengerti apa maksudnya.

"Dulu kami teman masa kecil, tumbuh bersama. Kedua orangtua kami bahkan menjalin sebuah bisnis besar. Aku dan Louis hanya terpaut dua tahun. Oleh sebab itu, dia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, lebih dari sahabat."

"Tunggu." Aku mencegahnya sebelum melanjutkan. Ada sesuatu yang menarik perhatianku rupanya. "Kau dan Louis teman masa kecil dan kau anggap Louis sudah sebagai kakakmu sendiri? Tapi mengapa kau dan Louis—"

Aku terdiam. Bukan, bukan itu yang aku pikirkan.

"Kau dan Louis terpaut dua tahun? Tapi seharusnya 'kan—"

Lagi, aku mendadak diam. Semuanya sulit kucerna.

Luke terlihat bingung dan kembali menjelaskan, seolah mengabaikan pertanyaanku.

"Hingga aku berumur empat belas tahun dan Louis berumur enam belas tahun. Keluargaku tidak baik-baik saja, membuatku harus kehilangan nilai terbaikku, Luke si kapten basket dan posisi ketua OSIS.

"Saat itu aku tidak bisa mengendalikan diriku, di pikiranku saat itu hanya bagaimana caranya mempertahankan ibuku agar tetap tinggal. Tapi semua sia-sia, ibuku tetap pergi, dan aku kehilangan segalanya. Kau tahu, Louis menggantikan semua posisiku. Aku marah, sangat marah hingga Louis terus mengejarku agar aku mau bicara padanya tapi aku tetap diam.

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang