Aku menatap lemah sebuah tinta yang mencetak namaku di papan pemberitahuan. Disana tertulis bahwa aku mendapat kelas loncatan XII-Science A. Ini tidak bisa kupercaya. Bagaimana mungkin, aku harus satu kelas dengan tiga manusia yang membuatku jengkel.
Luke, James dan terutama Louis.
Lebih parahnya, aku di masukan ke kelas ilmu alam. Sudah tahu aku tidak cukup pintar dalam jurusan tersebut.
"Tiff, kau lihat. Kau masuk kelas Science. Itu keren sekali."
Alice yang berada di sampingku terlihat girang dan menyerukanku bahwa aku keren bisa lolos dan masuk kelas favorit. Tapi aku merasa sebaliknya. Aku tidak cukup girang bahkan senang.
"Ternyata kau pintar dan sangat keren, Tiffany!" Lagi, dia berteriak kesenangan. Oh, cukup Alice. Kau semakin membuatku pusing.
"Keren darimana, Al?" Tanyaku dengan tertawa ironi menatapnya.
Dia memutar bola matanya lalu menunjuk papan pemberitahuan. "Lihat ini! Dari sini kau terlihat keren, kau beruntung, Tiff," ucap Alice.
Aku menghela nafas, memasang wajah memelas kepada Alice berharap bahwa aku bisa bertukar posisi denganya. Tapi sialnya, tidak bisa. "Mengapa kau terlihat tidak senang?"
Aku menoleh ke arah Alice yang ternyata sedang meratapi ke sialanku, "Aku membenci Science, Alice."
"Mengapa bisa? Kau tahu, kau itu beruntung. Coba kau lihat Alba si kutu buku itu, dia telah berusaha mati-matian agar bisa masuk ke kelas Science tapi hasilnya nihil. Sudahlah, pokoknya kau itu beruntung."
"Secara tidak langsung kau sudah menyamakanku dengan si kutu buku itu, Alice. Sudahlah, aku sama sekali tidak senang."
Aku pun berjalan menghampiri kursi yang berada di dekat papan pemberitahuan. Alice mengekoriku lalu duduk di sampingku.
"Beri aku alasan mengapa kau begitu membenci Science?"
Aku menghela nafas, "Science itu membosankan. Penuh dengan kosa kata asing yang tidak pernah aku dengar sebelumnya, penuh dengan rumus-rumus yang hampir membuat kepalaku pecah, Science juga membuatku memiliki waktu bermain skateboard menjadi sedikit." Jelasku panjang lebar dengan mantap.
Kini, giliran Alice yang menghela nafas dan memutar bola matanya. "Kau salah, Science menyenangkan. Kau saja yang terlalu dibawa beban."
"Sudahlah, cukup sampai disini. Aku bosan membahas Science, Science and Science." Aku pun bangkit berdiri. "Satu lagi, anak Science itu pelit," ucapku setengah berbisik setelah itu aku berjalan meninggalkanya.
Aku heran dengan Alice, mengapa dia selalu senang jika membahas tentang ilmu alam itu. Aku akui memang banyak siswa bahkan hampir tujuh puluh persen menginginkan masuk ke kelas tersebut. Tapi apa bedanya dengan kelas sosial yang menurutku tidak rumit. Tidak ada rumus fisika, biologi dan sebagainya yang membuat kepala rasanya ingin pecah. Hanya saja, sosial sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang, entah apa alasan-nya. Aku tidak begitu peduli.
"Hai, Tiff."
Aku menoleh lalu mendapati Calum berlari menghampiriku. Entah, mengapa rasanya getaran yang cepatnya mengalahkan kilatan cahaya itu tidak muncul lagi di jantungku. Rasanya biasa saja jika Calum memanggilku.
"Hai Tiff," ulangnya setelah dia berada di hadapanku. Nafasnya masih naik-turun belum stabil.
"Ca-calum." Sialan, tapi ternyata kegugupanku saat menyebut namanya langsung masih ada. Mungkin aku belum terbiasa.
"Kau mau kemana?" Tanyanya setelah nafasnya yang mulai stabil.
"Aku ingin ke kantin, ada apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Than Words
Fanfic"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal terbesar dalam hidupmu? Marah atau menerimanya?" © 2014 by meisyaw