BTW/LT-34

1.3K 181 7
                                    

Malam ini seperti biasa, Tiffany memilih mengurung diri di kamarnya. Tak heran jika Zayn terus mengetuk pintu kamar Tiffany beberapa kali. Tetap saja yang Zayn dapat hanya jawaban, "Aku tidak mau diganggu."

Akhirnya Zayn mengalah, mungkin ini masih menjadi masa tersulit bagi Tiffany. Padahal yang Zayn inginkan, dia ingin Tiffany membukakan pintu dan berbicara secara baik-baik. Dia tidak ingin masalah ini terus menghantuinya, apalagi besok pagi dia sudah berangkat ke Amerika.

Tur konser sudah di mulai dan mana mungkin bisa Zayn pergi begitu saja. Jika dipaksakan, pasti Zayn tidak akan fokus bekerja. Jadi, malam ini dia harus bisa tuntaskan semuanya.

"Masih tidak mau bicara?" Zayn melihat ibunya yang sedari tadi memperhatikan.

Zayn menggeleng lemah. Tahu apa yang di rasakan anaknya, Trisha memeluk Zayn dari samping dan mengusap lengan kiri Zayn penuh sayang. "Dia masih butuh waktu, Zayn."

"Aku tahu, Ma. Ya sudah, aku istirahat dulu, besok pagi aku sudah harus berangkat."

Otomatis pelukan yang nyaman itu lepas dan di gantikan senyuman tulus dari Trisha. Lantas Zayn pun memasuki kamarnya. Menutup pintu, Zayn menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Memejamkan mata sebelum membukanya kembali, menatap langit-langit kamar yang penuh coretan.

Dia tersenyum saat melihat dinding kamarnya penuh dengan cat, mengingatkan pada Tiffany yang tak sengaja masuk kamarnya dan bertanya kenapa dia senang mencoret dinding, Zayn yang pada saat itu sedang kesal, membentak Tiffany sehingga dia keluar dan tak lupa membanting pintu dengan keras.

Tiba-tiba Zayn tersentak saat mendengar nada dering dari ponselnya. Dia mendengus kesal, siapapun yang sudah mengagetkannya akan Zayn penggal kepalanya. Lantas Zayn bangkit dan mengambil ponselnya di atas nakas. Melihat nama si penelepon, Zayn benar-benar akan memenggal kepalanya.

"Ada apa?" Tanya Zayn tanpa memberikan kesempatan si penelepon mengucapkan, "Halo."

"Bagaimana keadaannya? Apa masih belum mau bicara? Tadi siang aku bertemu dengannya." Suara di seberang sana terdengar sangat khawatir.

"Dia masih tidak ingin bicara. Aku setiap hari bertemu dengannya." Timpal Zayn dingin.

Di seberang sana, Louis memutar bola matanya. Jelas saja Zayn bertemu setiap hari dengan Tiffany karena memang mereka satu rumah. Bodoh.

"Baiklah, Zayn. Aku tidak mau bertele-tele lagi. Tadi Liam memberitahuku bahwa dia baru saja mengantarkan Tiffany pulang, dia tampak baik-baik saja bahkan dia mau bicara dan mendengarkan cerita dari Liam."

Mengantarkan pulang? Ah, Zayn ingat tadi siang dia melihat adiknya turun dari mobil. Dia sempat berpikir itu Liam, tapi mana mungkin? Adiknya 'kan sedang tidak mau bertemu bahkan berbicara dengan orang-orang yang terlibat dalam masalah yang Louis ciptakan. Jadi, Zayn pikir itu, Luke.

"Ya, aku tahu dan aku sempat melihatnya."

"Mengapa kau tidak memberitahuku?!"

"Aku lupa."

Louis mendengus sebal, dia tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin Zayn semudah itu mengatakannya. Oke, memang disini, Zayn masih kesal kepada Louis.

"Dimana dia? Aku ingin bicara padanya."

"Di kamarnya dan dia tidak ingin bicara padamu."

"Ayolah, kau berkata seperti itu seolah kau sudah bisa berbicara dengannya saja."

"Terserah kau saja, Louis. Jika kau ingin bicara dan menyelasaikan semuanya, datang kemari dan bujuk dia."

"Aku tidak bisa."

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang