Hanya purnama satu-satunya penerangan yang dapat membantu penglihatan kedua orang yang sedang berbicara dengan begitu serius.
"Kenapa lama sekali? Hampir saja aku mengira kau berbohong tadi." Suara seorang lelaki menjadi pembuka perbincangan,
"Tidak mungkin aku mengingkari janji yang ku buat sendiri." Kali ini suara seorang perempuan yang berbisik terdengar.
"Iya, iya. Aku bercanda. Tidak salah Vis-" Omongan lelaki dengan baju serba hitam itu terjeda saat lawan bicaranya menutup mulutnya dengan tangan rapat-rapat.
"Aku sudah bilang, jangan katakana apapun tentang identitas kita. Dan jangan bicara dengan keras," ucap si Wanita. Ia dengan cepat menepuk-nepuk tangannya yang tertutup sarung tangan putih seakan membersihkan debu.
Sang Lelaki memandang tak suka pada lawan bicaranya.
"Apa aku sehina itu sampai tanganmu harus dibersihkan setelah menyentuh ku?" Tanyanya kasar pada sang Gadis.
"Memang kau sampah bukan? Berlagak sok jagoan, ujung-ujungnya mendapat malu," kali ini sang Gadis menatap remeh pada lawan bicaranya. Berusaha keras menjadi suaranya tetap rendah.
"Memangnya kau siapa hah?"
Sang Gadis mendesis memperingatkan sekali lagi, saat sang Lelaki kembali menaikkan nada bicaranya.
"Sudah ku bilang jangan bicara dengan suara keras. Kau mau kita ketahuan hah?"
Dengan gerakan cepat, sang Gadis membuka sarung tangan putihnya, memperlihatkan secarik kertas putih. Ia kemudian membukanya, memastikan kertas yang Ia bawa benar dan melipatnya kembali. Menyerahkannya dengan gerakan yang tak kalah cepat pada sang Lelaki.
"Sudah. Kita sampai di sini saja. Semua yang aku inginkan ada di sana," sang Gadis dengan terburu-buru berjalan menjauh.
Meninggalkan sang Pria yang tersenyum miring saat membaca secarik kertas yang digulung asal.
***
Genap sudah dua bulan Soraya mengenal sosok Devabrata. Sosok yang awalnya Ia takuti itu bersikap sangat bersahabat ternyata. Menciptakan atmosfer yang nyaman, sampai-sampai pergi ke istana hanya untuk menemuinya adalah hal yang biasa bagi Soraya saat ini. "Hai!" Sapa Soraya.
"Halo," sapa Devabrata balik. Satu hal lain yang disadari Soraya
Jika tidak berada di kerumunan orang, lelaki itu selalu hemat dalam berbicara.
"Ayo masuk. Langitnya tampak kelabu hari ini, sepertinya akan turun hujan."
Soraya dengan tergesa meraih lengan atas Devabrata, yang entah mengapa tidak disambut dengan baik. "Kenapa?" Tanya Soraya.
"Seharusnya aku yang mengajak mu masuk, bukan kamu."
Soraya mendengus kecil. Hanya gayanya saja yang cuek, sifatnya itu menyebalkan.
***
"Yang Mulia, tolong lihat ini sebentar." Baru beberapa langkah mereka memasuki istana, seorang pria dengan pakaian serba merah mendatangi Devabrata dengan sebuah surat.
"Berikan kepada Raja. Kenapa harus aku?"
"Yang Mulia Raja berkata, urusan ini akan diserahkan kepada Anda, Yang Mulia Putra Mahkora," jawab pria berbaju merah itu sembari menunduk tak enak hati.
"Kemari." Devabrata meraih kertas berwarna kuning itu. Tak lama, kerutan muncul pada keningnya. "Perketat semua aktivitas masuk dan keluar kerajaan, terutama perbatasan Timur sampai delapan bulan kedepan."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH OF THE VILLAINS
FantasySeorang wanita berdiri gemetar ditengah tengah persidangan. Menunggu keputusan apakah dia akan dihukum mati atau dibiarkan hidup. Soraya, putri dari duke Anarres diduga meracuni putri dari viscount Debaran Elea. Soraya dikatakan mencampurkan racun d...