33. Pencarian Soraya

795 79 2
                                    

Devabrata mengendarai kudanya dengan kecepatan penuh. Kabar hilangnya kereta kuda Soraya benar-benar membuatnya tidak dapat berpikir jernih. Rasa penyesalan akan dirinya yang mengusir Soraya kemarin menghantui dirinya. Suasana hatinya memang sudah buruk kemarin, Soraya hanya datang pada suasana yang tidak tepat.

Nama lain terus muncul dalam benaknya saat ini, Raelta.

Tidak ada lagi orang yang berpotensi menculik Soraya selain Raelta. Ucapan Soraya saat itu benar-benar terjadi.

"Pacu kuda kalian lebih cepat atau aku yang akan mencarinya sendiri!" Devabrata berseru pada ksatria berkuda di belakangnya.

"Maaf Yang Mulia, tapi sepertinya kita sudah mencapai kecepatan puncak," balas Johansen.

Mereka memang berkuda secara gila-gilaan sekarang, beberapa pasukan bahkan tertinggal jauh dibelakang akibat tidak dapat mengejar kecepatan Devabrata.

Devabrata berdecak, seharusnya dia meminta bantuan penyihir dulu tadi untuk melacak keadaan Soraya. Energi Soraya yang mencolok mungkin saja dapat dirasakan keberadaannya oleh mereka.

"Yang Mulia, saya mohon untuk berhenti sejenak. Maaf karena perkataan saya yang tidak sopan ini, tapi saya yakin Anda bahkan tidak tahu kemana arah yang benar-benar ingin anda tuju," seru Johansen sembari memacu kudanya agak lebih dekat dengan posisi Devabrata. Sepertinya hanya dia yang bisa memacu kudanya secepat ini di dunia.

Devabrata menarik pelana kudanya, membuat kedua kaki depan sang kuda terangkat tinggi tinggi dan berhenti. Perkataan Johansen memang benar. Tadi, mereka melewati jalur Selatan dan gedung besar yang sebelumnya menjadi tempat persembunyian Raelta menghilang. Menyisakan hutan belantara yang membuat Devabrata kehilangan tujuan.

"Terimakasih Yang Mulia," ucap Johansen kemudian.

"Apakah tidak ada dari kalian tahu kemana Soraya? Maksudku, setidaknya pasukan keamanan melihat kereta kudanya yang keluar dari istana 'kan?"

"Maaf Yang Mulia, sepertinya Yang Mulia Putri Mahkota memakai kuda yang tak berpengawal. Saya melihat sebuah kereta kuda tak berpengawal kemarin, tapi saya tidak pernah mengira akan ada seorang Putri Mahkota di dalamnya."

Devabrata berdecak, lagi. Entah karena keberadaan Soraya yang tidak memiliki titik terang, atau karena dirinya yang tidak bisa menemukan titik terang itu.

Devabrata beralih menatap sekelilingnya. Jika dugaannya terhadap Raelta benar adanya, maka sudah pasti Soraya berada di tempat yang tersembunyi. Sebuah tempat yang benar-benar tersembunyi. Hutan adalah kemungkinan yang paling besar, maka tanpa berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya segera saja ia melakukan pencarian menuju hutan.

Tapi ada satu hal yang tidak dia pikirkan sebelumnya. Hutan yang mana dan bagian yang mana.

"Kau! Apakah kau pernah melewati hutan ini?" tanya Devabrata sembari menunjuk Johasen yang masih setia menatapnya.

"Tidak pernah Yang Mulia. Saya selalu ditugaskan untuk melakukan pengawasan disekitaran istana."

"Kau, bagaimana denganmu," tanya Devabrata pada seorang pengawal senior yang sudah berkepala lima.

Sang pengawal terdiam, matanya beralih menatap hutan yang tampak tak berujung. "Dulu sekali Yang Mulia. Jika anda meminta saya menuntun perjalanan, saya tidak yakin bisa melakukannya. Banyak bagian hutan ini yang sudah berubah."

"Apakah kau pernah melihat sesuatu yang aneh saat terakhir kali kau bertugas?"

Pengawal itu terdiam, keningnya berkerut menandakan kepalanya sedang berpikir. "Sepertinya pernah Yang Mulia. Dahulu, ada satu bagian hutan tak bisa dimasuki para kesatria. Ada sebuah tulisan mengambang yang mengatakan bahwa wilayah itu tidak patut untuk dimasuki para kesatria. Karena saat itu saya masiy dalam masa percobaan, saya hanya melewatkan bagian hutan itu dan tidak pernah memikirkannya lagi sampai saat ini."

"Masih ingat dimana tempatnya?" tanya Devabrata.

Pengawal itu terdiam, kemudian mengangguk ragu. Netranta menatap kesekitaran hutan, entah apa yang dilihatnya sampai kemudian ia mengangguk lagi, kali ini tanpa ada keraguan setitikpun. "Saya rasa iya, dan sepertinya saya bisa memimpin perjalanan kali ini."

...

Soraya terduduk tak berdaya. Masih dalam sebuah kursi dengan posisi tangan dan kaki yang sama. Hanya satu yang berbeda, ruangannya.

Aelta benar benar memasukkannya kedalam ruangan dengan batu batu suci yang dicampurkan oleh ilmu hitamnya.

"Masih bertahan? Masih tidak mau memberikan kekuatanmu? Sedikit saja, ayolah!" seru Aelta yang tampak mulai bosan menunggu.

Soraya bersumpah akan membunuhnya jika dia bisa. Ia benar benar berusaha mengendalikan pikirannya atas rasa gelisah yang terus menerus. Mungkin ia akan gila sebentar lagi. Sedangkan anak laki lak di hadapannya bertingkah sangat tidak masuk akal.

"Kenapa diam? Oh! Kau mau memberikan kekuatanmu sekarang ya?" Aelta beranjak berdiri dengan bersemangat. "Kau hanya perlu-"

"Tidak. Aku tidak mau, dan tidak akan pernah mau memberikan kekuatanku barang setitik pun," potong Soraya.

"Keras kepala."

Aelta dengan kasar membuka ikatan tubuh Soraya pada kursi, menghempaskannya tepat pada bebatuan yang sudah terkontaminasi, membuat suasana hati Soraya semakin bergejolak ketika kulitnya bersentuhan langsung dengan bebatuan.

"Jangan salah kan aku jika kau gila."

Aelta beranjak berdiri, meninggalkan Soraya sendirian.

***

Devabrata menggenggam erat kerah Johansen.

"Kau bilang apa hah? Mengentikan pencarian?" gertaknya.

Johansen terdiam, kepalanya tertunduk. Dia tak akan menyalahkan Devabrata yang amarahnya seketika meledak begitu mendengar sarannya. Tapi apa yang dapat mereka lakukan? Mencari seseorang tanpa persiapan apa pun? Mereka seperti mencari sebutir garam dalam jutaan ton gula.

Devabrata menghentakkan kerah Johansen, netranya beralih menatap pasukan yang masih berada di kudanya.

"Siapa yang masih akan melanjutkan pencarian di sini?" serunya.

Beberapa pengawal dan kesatria saling berpandangan, namun tak ada yang mengangkat tangannya atau pun angka bicara.

"Pengecut!" kecam Devabrata setelahnya. "Akan ku cari dia sendiri."

"Tidak Yang Mulia, saya mohon."

Devabrata memandang rendah Johansen.

Johansen menarik napasnya perlahan, kepalanya makin merunduk, lututnya diluruhkan pada rerumputan di bawahnya. Berlutut tepat di hadapan Devabrata.

"Saya mohon untuk saat ini saja Yang Mulia." Johansen menelan saliva sejenak, kemudian melanjutkan. "Saya yakin Yang Mulia Putri tidak akan selemah itu untuk dikalahkan dalam satu hari."

Devabrata berdecak. "Kita mundur. Besok pagi, pukul lima bersiap, kita lanjutkan lagi pencarian."

***

Haloo! Udah lama ya ga update. Aku ulangan kemarinnn, habis UH selang seminggu langsung PAS 😭😭😭

Bener bener ga sempet buat sekarar ngetik satu paragraf.

Selesai kemarin langsung aku lanjutin, tapi baru selesai sekarangg 😌

Semoga bisa update tiap dua hari sekali yaa!!!

THE TRUTH OF THE VILLAINS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang