Soraya memandang pantulan dirinya sendiri di cermin. Saat ini, dia memakai sebuah celana untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini. Tepatnya, dia memakai baju ketat berlengan panjang dengan bagian rumbai seperti rok di ujungnya. Sebuah baju kesatria perempuan yang ditambahkan sedikit kesan feminim.
Soraya menggelung rambutnya asal, ketidak adaan seseorang yang membantunya bersiap kali ini membuatnya tampil sangat sederhana.
Setelah dirasa cukup, Soraya berjalan menghampiri Devabrata.
"Tanganmu," ucapnya pelan.
Walau ragu, Devabrata tetap menyodorkan tangan kanannya pada Soraya. Segera, Soraya mengaitkan tangannnya dengan tengan Devabrata menggunakan sebuah tali sihir. Sesuatu yang baru dipelajarinya beberapa jam lalu dengan bantuan buku-buku perpustakaan. Tali yang tak terbayangkan panjangnya, tapi saat salah satu dari mereka memutus kaitannya, pasangannya akan tertarik mendekat. Sebuah sihir yang sempurna untuk bertahan hidup, Soraya begadang semalaman untuk mencari tahu cara penggunaan sihir ini.
"Cukup putuskan tali ini saat kamu dalam keadaan terdesak, maka aku akan tertarik datang padamu," ucap Soraya sembari menaiki kuda putih setinggi satu setengah meter.
"Caranya?" Soraya membuang napasnya pelan mendengar pertanyaan Devabrata. Dia lupa memberitau Devabrata dengan cara kerjanya.
"Ambil," ucap Soraya sembari melemparkan sebuah gunting yang benar-benar tampak biasa. "Aku yakin kamu tidak membawa gunting. Tepat dua senti dari arah nadimu, di situlah pangkal talinya."
Devabrata bergeming sepersekian detik sebelum kemudian segera mengangguk dan menaiki kuda hitam dengan surai abu miliknya.
Dengan sangat pelan, mereka mulai keluar dari kerajaan dari arah belakang istana. Mereka akan melewati hutan luas yang akan langsung mengarah ke perbatasan. Sangat aman dibandingkan pergi melewati kota. Tenang saja, Soraya akan menekan aura mereka, membuat para hewan tidak merasakan keberadaan keduanya.
"Pelan-pelan Soraya. Aku tahu kamu selalu tampak mencolok, tapi tolong jangan lakukan itu sekarang. Sihirmu tidak akan berguna jika kau membuat keributan dengan suara-suara kudamu itu," peringat Devabrata saat Soraya dengan santainya menunggangi kudanya dengan liar. Bahkan beberapa kali Soraya mengangkat tali kekang kudanya membuat kudanya ikut berdiri dengan ringkihan kencang.
Soraya tersenyum canggung. Udara malam membuatnya merasa bebas.
Tiga puluh menit adalah waktu yang benar benar singkat untuk melewati hutan—walau sebenarnya tiga puluh menit itu terasa seperti satu tahun bagi Soraya. Sihir Soraya sangat membantu. Mereka berada di perbatasan sekarang. Tepatnya perbatasan bagian Selatan, satu-satunya bagian perbatasan yang sungainya hanya sebatas mata kaki dan arusnya tenang.
"Deva, kamu yakin ini bukan benteng milik Raja atau tetua dari jaman dahulu?" Soraya bertanya saat melihat pemandangan di hadapannya.
Pemandangan yang benar-benar aneh. Bagaimana mungkin ada sebuah bangunan megah di tengah tengah laut yang luas? Bukan, bangunan ini tidak berada di atas pulau atau apapun itu. Bangunan ini mengambang. Melakukan sihir anti gravitasi untuk diri sendiri saja Soraya sampai demam tiga hari, apalagi menerbangkan bangunan sebesar ini.
"Seharusnya bukan, aku belum pernah melihat ini sebelumnya," jawab Devabrata, arah matanya masih terus memandang kedepan.
"Ini bangunan yang kuat, tidak mungkin dibangun secara manual. Menurutku, Penyihir Agung yang membuat ini."
"Memangnya kamu tahu siapa Penyihir Agung itu?" Devabrata bertanya membuat Soraya terdiam. Ia hanya asal bicara saja tadi.
"Penyihir Agung sudah tidak ada Soraya. Dia melepaskan semua sihirnya belasan tahun yang lalu hanya untuk menghidupkan seorang anak perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH OF THE VILLAINS
FantasíaSeorang wanita berdiri gemetar ditengah tengah persidangan. Menunggu keputusan apakah dia akan dihukum mati atau dibiarkan hidup. Soraya, putri dari duke Anarres diduga meracuni putri dari viscount Debaran Elea. Soraya dikatakan mencampurkan racun d...