26. Sekali Lagi Tentang Noir dan Blanc

947 103 6
                                    

"Sebelah sana!" Seorang pria berbaju serba putih berteriak.

Devabrata mengerang, berusaha memaksakan dirinya untuk berdiri. Dilemparkan ketembok berkali-kali, melawan belasan orang sendirian, melawan sihir dengan pedang. Tidak ada alasan bagi Devabrata untuk bisa tetap berdiri gagah.

"Yang satu itu membawa batu energi, Mana isinya! Kau ambil batu Mana itu, makan!" Kali ini seseorang dengan baju serba hitam yang berteriak.

Devabrata termenung beberapa saat melihat dua orang yang biasanya hanya ada dalam legenda kini bertarung habis-habisan untuknya dan Soraya.

"Ambil, Nak! Kami tidak tahu kesadaran kami bisa bertahan sampai kapan," perintah orang berbaju hitam lagi.

Devabrata segera menyeret badannya menuju Soraya. Hatinya sakit melihat keadaan Soraya dengan tangan dan kaki yang diikat serta hembusan napasnya yang tak beraturan. Tangan Devabrata dengan cepat merogoh saku celana Soraya, mengambil dua buah batu energi berwarna merah dan segera meneguknya. Berbeda dengan ekspektasinya, batu milik Soraya terasa seperti mencair saat Devabrata menelannya.

Rasa nyeri diseluruh badannya menjalar secara tiba-tiba, hanya sebentar karena setelahnya Devabrata merasakan energi yang luar biasa.

Cepat-cepat Devabrata meninju borgol Soraya dengan bantuan sihir. Senyum antusias terlukis di wajahnya, menyadari sekarang tenaganya benar-benar sangat kuat. Ia mendapatkan sesuatu yang tidak pernah dikuasainya sebelumnya.

"Kamu tahu sihir teleportasi kan? Lakukan, bawa dia lergi!" Teriak lelaki berbaju putih.

"Tapi aku tidak pernah bisa melakukannya."

"Jangan pernah remehkan batu berisi Mana, Nak! Tenaganya sepuluh kali lipat dari batu energi!" Teriak orang berbaju hitam yang terlihat mulai kewalahan.

Devabrata segera menangkup tubuh Soraya, membawanya dalam gendongan. Tubuh Soraya makin ringan. Dan sekarang tambah ringan lagi membuat Devabrata merasa seperti menggendong anak sepuluh tahun, sepertinya efek anti gravitasi Soraya masih ada.

Merasa posisi Soraya sudah aman, Devabrata mulai memfokuskan pikirannya. Membayangkan dengan jelas ruang kamar Soraya tanpa ada cacat sedikitpun. Dua detik tetap berada posisi yang sama, perlahan keduanya mulai berpindah tempat.

***

Devabrata membuka matanya, pemandangan yang dilihatnya pertama kali adalah Nana yang menatap kaget kearahnya.

"Tolong, tolong panggilkan Rataesha, oh bukan,  Delisa. Kumohon." Devabrata memohon lirih dengan langkah kakinya yang sempoyongan. Walaupun ia memakai batu Mana, berteleportasi seperti ini memakan tenaga juga. Bagaimana keadaan Soraya yang harus terus memakai sihir saat di hutan dan saat memasuki benteng?

Nana segera berlari keluar kamar, meninggalkan Devabrata yang berlutut dipinggir kasur sementara Soraya yang berada diatas kasur makin susah bernapas.

"Yang Mulia!"

Seruan Delisa membuat Devabrata mengalihkan atensinya kearah pintu masuk kamar Soraya.

"Delisa...," panggil Devabrata lirih membuat Delisa segera berlari kearah Soraya. Mata Delisa membulat melihat bagaimana keadaan Soraya.

"Apa yang Anda lakukan? Apa yang terjadi pada Yang Mulia Putri?" Delisa bertanya tergesa.

"Tidak tahu," jawab Devabrata dengan air mata yang entah sejak kapan mengalir diwajahnya.

Delisa menghembuskan napasnya berat, pertanyaannya bodoh. Dia menanyakan sesuatu yang sudah dia ketahui jawabannya. Soraya dililit sihir hitam. Pikirannya dikendalikan seseorang. Perasaannya dipenuhi rasa penasaran sekaligus gelisah. Penasaran karena Soraya—entah bagaimana caranya—masih dapat mengendalikan dirinya sendiri, dan gelisah karena ini berarti tubuh Soraya bisa saja bangun dengan jiwa orang lain.

THE TRUTH OF THE VILLAINS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang