20. Masalah Dengan Penyihir Penjaga

1.4K 159 1
                                    

Soraya memandang surat-surat yang tertumpuk di ujung kamarnya surat. Semua isinya sama. Beberapa dari bangsawan yang bertanya mengenai masalah peperangan. Lebih banyak lagi dari rakyat biasa yang menginginkan perlindungan lebih.

"Nana, tolong ambilkan isi tinta yang baru," ucap Soraya pada Nana yang setia berdiri di belakangnya selama tiga jam belakangan.

"Baik, Nona," ucapnya patuh. Dengan cepat Nana segera meninggalkan Soraya yang masih bergelung dengan pikirannya.

Sebenarnya, berkali-kali Soraya menyarankannya untuk tidak terus menerus berdiri diam. Tapi Nana terlalu khawatir dengan kondisi Nonanya yang terus menerima berbagai surat tidak penting dari orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri.

Tidak butuh waktu lama, Nana kembali dengan dua buah kotak tinta hitam pekat milik Soraya.

Nana memperhatikan setiap gerak gerik Soraya. Dari mulai tangannya yang menuliskan kata-kata penenang untuk orang-orang sampai ekspresinya, semuanya sangat anggun untuk Nana. Rasanya seperti melihat anaknya sendiri yang tumbuh dewasa.

Brak!

Suara dobrakan pintu yang tiba-tiba membuat Soraya dengan cepat mengangkat tangannya, bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Melihat siapa orang yang dengan tidak sopannya mendobrak pintu kamarnya, Soraya menghembuskan napasnya jengah. "Ada apa lagi?"

"Maaf. Tapi bisakah kamu ikut aku sebentar? Ini darurat. Beberapa panyihir penyembuh di sayap barat kehilangan sebagian besar kekuatannya," jelas Devabrata cepat.

Soraya menghembuskan napasnya kasar. Apa lagi ini? Belum puaskah dia membuat ribut kerajaan Martanesia? Dan sekarang dia ingin menyerang penyihirnya?

...

"Selamat dayang Yang Mulia," ucap beberapa penyihir sopan. Sebagian lagi hanya menunduk.

"Bagaimana bisa penyihir penyembuh kehilangan kekuatan sucinya?" Soraya bertanya tanpa basa basi.

Beberapa penyihir menunduk, lebih banyak hanya mematung diam.

"Kalian sendiri tidak tahu?" Soraya kembali bertanya.

"Maaf Yang Mulia, tapi kami benar-benar tidak tahu," ucap salah satu penyihir.

"Bagaimana dengan bagian Utara, Selatan dan Timur? Apa mereka mengalami hal yang sama?" Kali ini Devabrata bertanya dengan tergesa. Waktu mereka sedikit. Tiga puluh menit saja meninggalkan ibu kota, entah apa yang terjadi disana.

"Tidak Yang Mulia. Tapi penyihir bagian Selatan kehilangan kemampuan bertarungnya," jawab seorang pemyihir dengan rambut yang sudah sepenuhnya berwarna putih.

Devabrata berdecak sebal. Bagaimana bisa Raelta menguasai sihir hitam? Hanya satu kemungkinan yang masuk akal, Raelta bekerja sama dengan penyihir hitam untuk mengotak-atik mental dan otak para ksatria dan penyihir.

"Soraya, kali ini kita benar-benar tertinggal jauh," lirih Devabrata.

Soraya hanya bergeming. Perlahan, ia mendekati tempat para penyihir beristirahat. Matanya menangkap sebuah keranjang makanan. Dengan cepat, Soraya mengangkatnya di hadapan semua orang.

"Siapa yang memberikan kalian ini?"

"Maaf, Yang Mulia Putri Mahkota. Tapi bukankah Anda sendiri yang memberikannya pagi tadi?" Salah satu penyihir balas bertanya.

"Dia berada di kamarnya dari kemarin karena alasan keamanan," ucap Devabrata.

"Buah ini, mengandung sihir hitam. Bagaimana mungkin kalian tidak menyadarinya?" Soraya bertanya, membuat para penyihir dan ksatria membulatkan matanya terkejut.

"Maaf Yang Mulia, berikan pada saya sebentar," minta salah satu penyihir termuda disana.

Soraya perlahan memberikan keranjang makanannya. Setelah beberapa lama, penyihir muda tersebut melemparkan keranjangnya menjauh.

"Anda benar, Yang Mulia. Terdapat sihir hitam yang sangat kental di sana, maafkan kelalaian saya," ucapnya dengan bergetar.

Devabrata mengeraskan rahang. Sepertinya Raelta sudah tidak peduli dengan apapun. Bahkan sekarang ia bermain curang.

"Sepertinya saudaramu itu ingin bermain belakang," gumam Soraya dengan senyum tipis di bibirnya. Apakah masih ada lagi kesempatan bagi mereka? Secepat inikah kehidupan keduanya berakhir?

"Apa?"

"Sepertinya Raelta akan bermain belakang. Dia akan perlahan menggagalkan satu persatu rencana kita. Sampai nanti hanya tersisa kita saja tanpa pilar apapun, Raelta akan langsung menyerang kerajaan saat itu," jelas Soraya.

"Kalau begitu tak ada cara lain. Kita harus membagi kekuatan untuk bagian dalam kerajaan. Aku akan meminta Raja memberikan beberapa pasukan khususnya untuk mengawal," putus Devabrata.

"Bagaimana dengan perbatasan?" Salah satu penyihir dengan rambut krseluruhan putih beratanya.

"Kalian masih bisa menahannya, aku yakin. Pastikan tidak ada seorang pun yang bisa keluar masuk tanpa izin." Devabrata membuat keputusan bulat.

Soraya menatap sekitarnya dengan takjub sekaligus was-was. Dia mungkin pintar sehingga terlihat menonjol. Tapi sebenarnya Soraya belum sepenuhnya beradaptasi. Bahkan ada saatnya dia keceplosan memakai bahasa tidak baku. Tapi sekarang? Soraya harus menghadapi perang. Dengan dirinya di baris terdepan.

THE TRUTH OF THE VILLAINS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang