1. Lahir Kembali

13.2K 1.1K 18
                                    

Anastasia mengerjapkan matanya saat sinar terang serasa menusuk. Tubuhnya terasa ringan. Rasa sakit yang sebelumnya menyerang ikut hilang. Ia menatap kearah kakinya. Deg. Apa ini?

"Nona sudah bangun?" Tanya seorang wanita berbaju pelayan berearna hitam. Cantik, wanita itu memiliki surai dan manik yang berwarna cokelat terang. Kulitnya halus dan seputih susu.

"Apa yang terjadi? Siapa wanita ini? Apa yang sedang dibicarakannya?" Kepala Soraya berputar rasanya. Apakah Ia sedang berhalusinasi sebelum meninggal?

"Apa yang terjadi?" Akhirnya, hanya kalimat itu yang bisa keluar di mulutnya.

"Nona pingsan setelah ulang tahun Nona yang ke dua belas kemarin," jawab wanita itu dengan begitu halus. "Apakah Nona Soraya ingin saya panggilkan Tuan Duke?"

"Tidak perlu. Aku ingin ke kamar mandi dulu." Anastasia menyibak selimut yang menutupinya. Tubuhnya seketika gemetar saat melihat kakinya yang terlihat begitu kecil, putih, dan berbeda.

Tubuhnya seketika membeku saat kepalanya mengingat sebuah nama. Soraya. Sebuah nama dari tokoh perempuan yang bukunya Ia temukan di perpustakaan. Apa yang terjadi? Apakah Ia baru saja bereinkarnasi?

"Apakah Nona ingin menbersihkan diri?" Pelayan wanita tadi kembali bertanya pada Anastasia.

Jika memang Ia harus menjalani kehidupan keduanya, sepertinya membersihkan diri di pagi hari adalah keputusan yang sangat tepat.

***

Soraya memperhatikan kamar barunya dengan seksama. Mewah adalah kata pertama yang terlintas dalam pikirannya.

"Ada apa, Nona?" Pelayan wanita yang ternyata bernama Nana itu menatap khawatir pada Nonanya yang baru saja sembuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ada apa, Nona?" Pelayan wanita yang ternyata bernama Nana itu menatap khawatir pada Nonanya yang baru saja sembuh.

"Ah, tidak apa-apa." Anastasia —atau harusnya kita panggil Soraya sekarang—melangkah gontai pada sofa diujung ruangan sementara Nana terus mengikutinya.

"Nana, kapan aku mulai belajar?" Soraya bertanya pada Nana. Di umur Soraya yang sekarang, gadis ini seharusnya sudah mendapatkan pendidikan atau apapun namanya itu 'kan?

"Apakah Nona lupa? Bukankah Nona sendiri yang menolak pendidikan yang akan diberikan Tuan Duke? Nona bilang akan mencari sendiri guru yang cukup baik untuk Nona."

Sungguy jalan hidup yang mulus Soraya.  "Aku berubah pikiran. Silakan carikan aku guru yang baik dan akan mengajarku dengan sepenuh hati." Soraya menatap Nana sembari tersenyum semanis mungkin.

"Baik, Nona. Akan saya sampaikan pada Tuan Duke," Jawab Nana sebelum kemudian menunduk dan berjalan perlahan keluar kamar Soraya. Meninggalkannya dengan segala pikiran di kepala.

"Putri Duke ya. Bukankah posisi Duke jauh di atas Viscount? Sebagai Putra Mahkota, mengapa Ia lebih memilih putri seorang Viscount?"

Drett.. Pintu kamar Soraya dibuka secara perlahan, menghentikan gumaman Soraya. Seorang pria dengan surai keemas dan manik mata berwarna merah memasuki kamar Soraya. Jika dilihat dari warna matanya, sudah pasti orang ini adalah Duke Anarres.

"Ayah!" Entah apa yang merasukinya, tapi Soraya merass Ia harus bertingkah seperti anak berumur dua belas tahun yang sedang kegirangan saat melihat Ayahnya.

"Soraya mau menerima guru dari Ayah?" tanya Duke Anarres sembari beraih menggendong tubuh mungil Soraya.

Soraya mendongak perlahan menatap lelaki itu. Kerutan-kerutan halus yang terlihat saat orang ini berbicara dan tersenyum sama sekali tidak menutupi ketampanan dan wibawanya.

"Bolehkah Papa?" Soraya menatap Duke Anarres memelas. Dia pernah membaca salah satu cerita reinkarnasi dengan seorang anak yang sang Ayah "Papa" dan sang Ayah berubah menjadi sangat baik.

"Kau memanggilku papa sekarang?" Duke Anarres terkekeh mendengar panggilan baru Soraya untuknya. "Tentu boleh. Malah bagus jika kau menginginkannya. Papa akan memanggilkan guru terbaik untukmu." Duke Anarres tersenyum lembut pada Soraya. Membuat hati Soraya terenyak mengingat ayahnya didunianya yang dulu.

"Kenapa Soraya? Kau masih sakit?" Tanya Duke Anarres dengan kening mengerut melihat wajah putrinya yang menjadi sayu.

"Ayah, aku ingin tidur," ucap Soraya.

"Nana, tolong rapikan selimutnya," Duke Anarres menatap khawatir pada putrinya.

Nana merapikan kasur Soraya dengan telaten. Memastikan setiap sudutnya tak tertekuk.

"Sudah siap, Tuan Duke," kata Nana dengan tubuh yang menunduk rendah pada duke Anarres.

Duke Anarres meletakkan tubuh mungil Soraya perlahan.

"Boleh aku tidur sendiri sekarang Papa?" Soraya menatap sayu pada Duke Anarres.

Duke Anarres mengangguk lembut walau keningnya tetap mengerut.

Drett..

Suara pintu berderit terdengar. Menandakan bahwa Duke Anarres dan Nana sudah keluar dari kamarnya.

Sementara tubuh mungil Soraya bergetar pelan, menahan tangisannya yang tertahan. Rasa sakitnya saat kejadian bom satu hari yang lalu masih teringat dikepalanya. Bagaimana suara itu membuat telinganya berdengung. Saat dimana kakinya mati rasa. Tapi diantara semua itu ia merindukan ayahnya saat menjadi Anas. Seseorang yang terus bersamanya walau seluruh keluarganya menganggapnya kutukan karena terlahir tanpa warna. Hanya matanya saja yang berwarna coklat pekat saat dia lahir dulu. Tetapi ayahnya mengatakan bahwa ia terlihat seperti seorang malaikat.

"Anas. Jangan dengarkan kata kata orang lain. Mereka tidak mengerti apapun. Kau terlihat seperti malaikat bagi ayah."

THE TRUTH OF THE VILLAINS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang