Raelta memandang Soraya yang tampak tak berdaya di antara bebatuan terkontaminasinya. Tangannya menggenggam erat nampan yang berisikan roti dan susu. Bukan roti basi ataupun susu yang setengahnya terisi air, melainkan makanan yang sepenuhnya layak untuk disantap.
Ia memperhatikan Soraya yang hanya menatap kedepan dengan tatapan kosong. Tidak sedikitpun meronta atau memohon kepadanya untuk segera diberikan makanan.
"Tidak mau makan?" Raelta bertanya kemudian.
Soraya menatap Raelta, kemudian berdecih, muak melihat muka perhatian Raelta. "Kau baru memberikan ku makan setelah membiarkan aku kelaparan dan kehausan semalaman?"
"Hanya kehausan dan kelaparan? Tidak... gila?" Raelra meremehkan dengan telunjuk yang diletakan pada kepalanya sendiri.
Soraya berdecak saat ia tak sengaja melepaskan sedikit energi dalam tubuhnya. Sudah dari malam tubuhnya kesulitan mengendalikan energinya yang semakin parah.
Raelta tersenyum melihat keadaan Soraya. "Sepertinya energimu bergejolak minta di keluarkan ya? Kenapa tidak kau biarkan saja? Akan aku kembalikan setelah kerajaan dapat ku hancurkan. Aku berjanji," ucap Raelta kelewat santai.
Soraya mengalihkan pandangan, melihat Raelta makin membuat energinya bergejolak. Akan ada dua kemungkinan jika ia melepaskan energinya. Ia meledak dan Raelta serta dirinya ikut mati, atau energinya keluar secara perlahan dan Raelta dapat memanfaatkannya. Tapi melihat keadaannya sekarang, kemungkinan kedua lebih memungkinkan terjadi dan Soraya tidak mau Raelta diuntungkan.
Raelta tersenyum sinis melihat Soraya yang kembali mengendalikan energinya. "Kau benar-benar butuh paksaan ya, Nona."
Dengan kasar, Raelta membuka ikatan tubuh Soraya pada kursi. Terdiam sejenak memperhatikan Soraya yang tampak tak melawan sama sekali, kemudian di tendangnya kursi kayu itu menjauh, membuat tubuh Soraya jatuh berdebam menyentuh langsung bebatuan hitam.
Soraya mengaduh, tapi ada hal lain yang lebih mengganggunya. Kali ini, seluruh tubuhnya bersentuhan langsung dengan batu batu terkontaminasi itu. Energinya semakin bergejolak, perasaannya semakin gelisah, dan Soraya yakin beberapa saat lagi otaknya akan menjadi gila. Dan Raelta mungkin akan menang.
"Kita lihat seberapa lama kau dapat bertahan nona," ucapnya sebelum kemudian tersenyum remeh dan beranjak keluar ruangan, meninggalkan Soraya yang sudah hampir gila.
...
Devabrata berdecak tak sabar sembari memperhatikan Rathaera yang sedang terfokus dengan mata terpejam.
"Dapat."
Rathaera dengan hati-hati memindahkan penglihatannya pada batu memori, membuat batu yang semula sejernih air menjadi semerah darah, berwarna seperti sihirnya.
Devabrata beranjak mendekat, menunggu Rathaera membuka penglihatan batu memori dan menunjukkan padanya lokasi Soraya.
Rathaera menyentuh batu memori, membuatnya bersinar dan memperlihatkan sebuah presentasi layar hexagonal yang menampilkan lokasi mana Soraya yang berwarna keemasan, hampir sama dengan para penyihir agung.
"Semua orang memiliki energinya masing-masing, Yang Mulia. Dan dalam energi itu, ada energi lebih dalam lagi yang dimiliki tiap penyihir berbakat dalam hidupnya, Mana. Kau beruntung karena energi Soraya bercampur dengan Penyihir Agung. Mudah sekali menemukan energi yang menonjol," jelas Rathaera sembari menunjuk sebuah titik yang tampak tak stabil.
"Mengapa energinya terlihat ada dan tiada?"
Rathaera mengangguk. "Ini berarti Yang Mulia Putri Mahkota sedang tidak aman. Saya harap Anda dapat menemukannya sebelum tiga hari."
Devabrata membuang napas kasar. Sebelum tiga hari? Apa mungkin? Perang saja belum selesai dan belum ada kabarnya sampai saat ini. Apakah aman jika mereka mencari langsung menuju tempat yang ditunjukkan penglihatan Rathaera? Apa itu bukan jebakan? Apa Raelta tidak akan langsung menyerangnya saat pasukan Istana sampai di sana.
"Yang Mulia, saya tahu Anda memiliki banyak pertanyaan."
Devabrata memandang Rathaera. Bagaimana bisa Rathaera mengetahui apa yang dipikirkannya.
"Saat saya seumuran Anda, saya baru saja memulai petualangan saya. Mencari jati diri." Rathaera menjeda sejenak ucapannya, kemudian melanjutkan. "Butuh banyak perdebatan dengan diri sendiri, dan pertentangan yang sangat banyak dengan keluarga ketika saya melakukan itu."
Rathaera beranjak bangkit, berjalan mendekati satu-satunya jendela di ruangan itu. Layar sihir hexagonal ciptaannya perlahan-lahan menghilang. "Saya adalah seorang rakyat biasa. Tidak mempunyai koneksi, tidak mempunyai harta, tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki etika. Tapi saya memutuskan itu dengan sepenuh hati saya. Saya memiliki tekad."
Devabrata memandang Rathaera lekat-lekat. Tidak mengerti hubungan semua hal yang terjadi dan apa yang dikatakan Rathaera sekarang.
"Saya rasa, Yang Mulia pangeran kedua juga mencari hal itu saat melakukan pemberontakan di umurnya yang kesepuluh. Dan sepertinya, Istana malah membuatnya semakin kebingungan mencari jati diri."
Devabrata terlonjak mendengar perkataan Rathaera. Hanya sedikit orang yang mengetahui cerita pemberontakan Raelta dan dari sedikit orang itu, dan hanya Rathaera yang berani membicarakannya langsung kepada Devabrata.
"Anak yang saat itu masih berusia sepuluh tahun melakukan pengkhianatan besar dengan meninggalkan keluarganya dan pergi dari kerajaan. Mungkin selama ini orang-orang yang mengetahui kejadian ini berpikir seperti itu. Tapi mereka lupa hal yang sama pernah terjadi sebelumnya."
Rathaera terdiam. Keheningan sempat menguasai keduanya sampai akhirnya Rathaera kembali berbicara. "Saya melihat kejadian itu, saya memiliki penglihatan guru saya. Saya merasakan masa dimana Kerajaan mengumumkan bahwa seorang Grand Duke, Raja Tandra akan menjadi raja selanjutnya dikarenakan keluarga kerajaan tidak memiliki keturunan.
"Saya melihat bagaimana beberapa tahun kemudian Raja Tandra, dengan ekspresi tidak mengenakkannya mengumumkan jika dia memiliki seorang keturunan dan penyerahan takhta tak jadi di serahkan kepada Grand Duke Hesperos terdahulu sebagai orang dengan posisi kedua setelah keluarga keraaan."
"Dengan penglihatan guru saya pula, saya tahu bahwa nama raja kita adalah Yang Mulia Raja Devarta de Martanesia. Dan Pas Attendu adalah panggilan kasar Raja terdahulu kepada beliau. Setelah saya melihat semua ingatan itu, guru saya kembali pada kerajaan. Mengabdi dengan seluruh hati saya, dan diangkat menjadi salah satu orang Kerajaan."
"Saya juga melihat saat Raja terdahulu memutuskan untuk melepas marganya dan memilih untuk menjadi bangsawan. Dengan alasan yang sama dengan Yang Mulia Pangeran Kedua. Mencari jati diri. Hanya pada saat itu, raja Tandra tidak berpikir untuk menyerang kerajaan karena masih ada hal berharga yang akan selalu beliau hormati.
Devabrata masih menatap Rathaera intens. Sejujurnya dia agak terpaku dengan penjelasan Rathaera yang berbeda dengan sejarah manapun yang pernah dibacanya. Devabrata sepertinya benar-benar penasaran dengan siapa Rathaera menimba ilmu sekarang ini.
"Kalau menurut saya," Rathaera menjeda sejenak ucapannya. Kemudian melanjutkan, "Perang kali ini tidak harus dilakukan dengan pertumpahan darah."
"Lalu?" Devabrata bertanya cepat.
"Anda seharusnya tahu, Yang Mulia."
Devabrata mengulum bibirnya. Dengan apa? Persaudaraan? Raelta jelas sudah tidak mau berhubungan lagi dengannya.
"Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting adalah menyelamatkan Putri Mahkota."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH OF THE VILLAINS
FantasySeorang wanita berdiri gemetar ditengah tengah persidangan. Menunggu keputusan apakah dia akan dihukum mati atau dibiarkan hidup. Soraya, putri dari duke Anarres diduga meracuni putri dari viscount Debaran Elea. Soraya dikatakan mencampurkan racun d...