Sebuah gaun putih yang menjulur menyapu lantai, tiara yang sangat cantik, serta berbagai aksesoris yang menghiasi tubuhnya membuat tampilan Soraya sangat cantik hari ini. Dengan langkah yang diambil dengan begitu hati-hati, Soraya berjalan perlahan menuju aula kediaman Anarres.
Menyadari kedatangan Soraya, pengawal yang ditugaskan untuk mengumumkan kedatanga segera melakukan tugasnya.
"Nona Soraya Eldora de Anarres tiba!" Serunya membuat seluruh tamu segera menatap tangga pada tempat Soraya turun.
Semua pandangan mengarah padanya. Entah apa yang terjadi, namun menurut Soraya, semua orang selalu menatap kearahnya dimanapun dan kapanpun Ia berada.
"Nona." Devabrata bersimbah di hadapan Soraya sembari memberikan tanganya untuk digenggam.
Soraya dengan anggun menggenggam tangan Devabrata.
Keduanya kemudian berjalan perlahan menuju tengah aula. Hari ini berbeda. Bukan hanya sebuah debutante. Namun pengumuman Ratu berikutnya.
Musik mengalun dengan merdu menandakan pesta dansa akan dimulai.
Devabrata kali ini menunduk, perlahan Ia menggenggam tangan Soraya sementara sang Puan meletakkan tangannya pada pundak sang Tuan.
Musik mengalun semakin cepat, begitupun dengan gerakan keduanya. Soraya mengerahkan semua yang telah Ia pelajari untuk ini. Alunan music terus terdengar, membuat indah aula kediaman Anarres yang dihiasi dengan bunga di seluruh penjuru ruangan.
"Kau terlihat sangat cantik hari ini, Putri," bisik Devabrata di telinga Soraya.
Hati Soraya mendesir hangat mendengarnya. Tidak, bukan apa apa. Tapi Devabrata mengatakannya dengan sangat lembut dan penuh ketulusan.
"Terimakasih." Soraya tersenyum lebar menanggapi Devabrata. Membuat mata Devabrata terbuka sejenak memandang Soraya.
"Kamu, tersenyum." Devabrata berucap pelan, sangat pelan.
"Kenapa-"
BRAK!
Pembicaraan keduanya terhenti saat dengan tiba-tiba seseorang menabrak tubuh Devabrata. Devabrata yang tertabrak tidak sengaja melepaskan genggaman keduanya, membuat sang gadis yang masih limbung menabrak tubuh Soraya yang membuat keduanya terjatuh. Sialnya, kepala Soraya terantuk meja tempat semua air di letakkan. Hal ini membuat Soraya yang terkejut dan merasakan sakit di kepalanya mengangkat tangannya, bermaksud memeriksa kepalanya yang berdenyut.
Namun, lengan Soraya justru tersangkut dengan alas meja, membuat semua gelas dan isinya tumpah ruah pada tubuhnya. Devabrata dengan segera menghalangi gelas-gelas yang akan pecah, walau Soraya yang sudah terlanjur terjatuh basah kuyup. Devabrata yang bingung segera melepaskan jasnya dan menyelimuti Soraya sembari mendekapnya.
"Kau. Apa yang kau lakukan?" Tanya Devabrata sembari terus mendekap tubuh Soraya.
"Saya...saya tidak sengaja menginjak gaun saya Yang Mulia." Elea Debara. Gadis itu menunduk sedalam-dalamnya. Bahunya bergetar mati-matian menahan takut.
Srang!
Dalam sepersekian detik, ujung mata pedang sudah berada tepat di bawah dagu Elea. Devabrata menghunuskan pedangnya, lurus tegak ke arah leher Elea.
"Kau berhohong," ucapnya membuat orang-orang yang menonton menatap keduanya dengan bingung.
"Maafkan saya Yang Mulia, tapi saya tidak mengatakan kebohongan."
"Kau datang dari arah belakangku tanpa pasangan." Devabrata menajamkan matanya.
Soraya yang tentu saja sedang gemetar menahan dinginnya air es yang baru saja mengguyur melemaskan bahunya. Kenapa ada saja masalah yang membuatnya menjadi pusat atensi? Kemarin Grand Duke sombong itu. Hari ini gadis yang tiba-tiba menabraknya. Besok siapa lagi?
Elea masih diam seribu bahasa.
"Saya masih muda. Anda semua yang ada di sini juga tentu berpikir seperti itu. Tapi saya tetap calon raja." Devabrata menurunkan pedangnya, menyimpannya kembali.
"Dimana walimu?" Devabrata mengubah pandangannya dan menatap seluruh aula. Mencari sosok yang Ia cari.
"Tidak ada Yang Mulia. Maaf, tapi saya datang tanpa undangan, dan tanpa izin dari Ayah."
Devabrata menghembuskan napasnya kasar. Saat ini, Elea seharusnya pantas mendapatkan hukuman karena mengganggu di sebuah pesta penting, dan datang tanpa wali, bahkan tanpa izin. Gadis yang belum melakukan debutante dianggap belum dewasa dan memiliki kewajiban untuk mendapatkan izin walinya dalam hal apapun.
"Pergi sekarang juga dari sini. Aku tidak peduli dengan apa. Tolong kembali ke kediamanmu Nona." Devabrata kembali memandang Soraya yang kulitnya mulai memucat.
Soraya diam-diam menghela napas. Kenapa hal-hal memalukan seperti ini terus menerus terjadi. Rasa malunya saat ini hampir saja sampai di puncak Ia ingin pingsan saja.
"Ayo kita pergi.. Tubuhku mulai mati rasa karena kedinginan," pinta Soraya sembari menarik tangan Devabrata.
"Sebentar," jawab Devabrata. Namun atensinya masih menatap tajam pada Elea yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.
"Aku pergi sendiri kalau begitu." Sungguh, kalau tidak karena Devabrata yang masih terus mendekapnya degan begitu erat, mungkin Soraya sudah berlari kembali ke kamar sedari tadi.
"Jangan. Aku antar."
Devabrata justru mendekap Soraya lebih erat
"Aku kedinginan Devabrata."
Sungguh Soraya tidak ingin berada di sini lebih lama lagi. Terutama dengan Devabrata yang terus mendekapnya seperti ini.
Devabrata pada akhirnya mengalah, masih dengan mendekap Soraya—yang mungkin Ia rasa akan hancur jika dilepaskan—mereka berjalan menjauhi kerumunan.
***
"Terimakasih. Silakan kembali."
"Aku akan menunggu."
"Tidak. Cukup semua masalahnya, aku ingin beristirahat." Soraya menampilkan senyuman setulus mungkin pada Devabrata sembari tangannya menutup pintu kamar dan menguncinya.
"Nana," panggil Soraya. Berharap pelayan pribadinya itu datang dan membantunya melepaskan semua aksesoris dan gaun yang melekat di tubuhnya saat ini. Tangan, kaki, dan mulutnya sudah mati rasa sepertinya.
Dua menit Soraya memanggil, tidak terlihat adanya tanda-tanda kemunculan Nana. Soraya dengan langkah gontai berjalan menuju kursi kecilnya saat menyadari kalau kamar mandinya dalam keadaan terkunci. Ia melepaskan jas Devabrata dan kain panjang yang diikatkan dipunggungnya. Jujur, kain itu berat sekali saat terkena air.
Tok. Tok.
Terdengar suara pintu kamar Soraya diketuk pelan. Soraya dengan cepat berjalan kepintu kamarnya. Berharap Nana ada di sana.
"Nana kemana sa-"
Ucapan Soraya terpotong dengans Nana yang tiba tiba memeluknya erat. Tubuh Soraya yang menegang dengan perlahan mulai kembali normal. Soraya menggerakkan tangannya perlahan, membalas pelukan hangat Nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH OF THE VILLAINS
FantasiaSeorang wanita berdiri gemetar ditengah tengah persidangan. Menunggu keputusan apakah dia akan dihukum mati atau dibiarkan hidup. Soraya, putri dari duke Anarres diduga meracuni putri dari viscount Debaran Elea. Soraya dikatakan mencampurkan racun d...