Soraya membuka pintu ruangan rapat dengan sangat pelan. Tetapi tetap saja suara pintu berdecit membuat atensi semua orang terarah padanya.
Saat ini, mereka semua berada di ruangan rapat untuk mengatasi kabar simpang siur yang terjadi. Sudah terlalu banyak gosip-gosip yang menyebar. Tidak memungkinkan lagi bagi pihak kerajaan untuk terus menerus mengelak dan menghindar.
Soraya memerhatikan sekitarnya setelah duduk, terdapat beberapa bangsawan yang duduk dengan ekspresi tegang.
"Jadi, rumor apa yang sudah tersebar diantara kalian?" Soraya memutuskan membuka rapat dengan pertanyaan. Hal ini yang paling membuatnya penasaran.
"Rumor bahwa perang ini hanyalah pengalihan isu dari hal yang lebih penting," jawab seorang bangsawan pelan. Soraya mengenalnya, dia Viscount Debaran.
Soraya menghembuskan napasnya jengah. Lihat? Saat pihak kerajaan sedang lelah mengatasi kejadian yang sedang terjadi, orang lain justru menyebar berbagai rumor aneh. Padahal mereka tidak perlu melakukan apapun. Sesusah itukah mengikuti arahan?
"Isu apa?" Devabrata memutuskan ikut bertanya.
Beberapa bangsawan terdiam, lebih banyak lagi menundukkan kepalanya.
"Isu bahwa Yang Mulia Raja tidak akan memberikan kekuasaan kepada siapapun, sampai beliau mati sekalipun," jawab Marquis Luminera setelah beberapa lama hening.
Devabrata membeku. Bagaimana mereka bisa tahu? Isu ini bukan isu biasa, ini merupakan rahasia keluarga kerajaan yang dijaga ketat. Siapa yang membocorkan ini?
"Siapa yang memberi taumu tentang hal ini Marquis?" Soraya bertanya tajam. Panik tidak akan membuahkan apapun. Ini sebuah rapat, bukan perang. Yang digunakan otak, bukan otot. Yang pintar yang menang, bukan yang kuat.
"Saat-"
"Hal ini merupakan rumor. Kita tidak tahu siapa orang yang pertama kali membual tentangnya," ucap Viscount Debaran memotong ucapan Marquis Marcury.
"Apakah Anda tahu sopan santun Viscount? Memotong pembicaraan orang lain benar-benar adab yang buruk. Anda pasti tahu ini bukan?" Tegas Soraya. Sebisa mungkin ia akan menyudutkan Viscount Debaran. Entah kenapa, ia yakin Viscount adalah penyebab semuanya.
Viscount Debaran menunduk. Jelas sekali mulutnya mengumpat pelan. "Maafkan kelancangan saya," katanya pelan.
"Jadi, apa yang mau Anda katakan Marquis?" Soraya bertanya dengan pandangan tetap pada Marquis Marcury. Setidaknya bangsawan yang satu itu bisa diajak bekerja sama.
Marquis Marcury mengangkat kepalanya. "Saya mendengar rumor ini saat faksi bangsawan sedang melakukan rapat," jawabnya.
"Faksi bangsawan?" Devabrata mengulang pernyataan yang baru saja didengarnya, sementara Marquis Mercury sudah dihujani segala tatapan tajam.
Soraya menepuk tangannya tiga kali. Sudut bibirnya tertarik sinis. Apa ini? Mereka sekarang membentuk faksi? Mereka membalas seluruh perlindungan kerajaan seperti ini? Tidak tahu diri.
"Sepertinya kalian bertindak seperti ini karena perlindungan kerajaan yang terlalu ketat ya? Baiklah, akan kami cabut semua perlindungan kerajaaan pada kalian. Kalian tidak perlu lagi melakukan rapat secara tertutup dan rahasia begitu. Silakan urus sendiri urusan kalian," ucap Soraya yang sudah kepalang marah, sedangkan beberapa bangsawan mulai menggeleng panik. Sekuat apapun mereka, perlindungan kerajaan adalah sesuatu yang benar-benar dibutuhkan.
"Rapat kita hentikan sekarang. Saya ingin semuanya kembali kekediaman masing-masing. Terserah kalian ingin melakukan apa. Saat perang benar benar terjadi, jangan ada satupun dari kalian yang memohon-mohon dilindungi nanti," perintah Soraya dingin.
Diawali Marquis Marcury, sontak para bangsawan lain ikut berlari keluar. Dengan melihat ekspresi marah Soraya, sepertinya tidak ada lagi harapan.
"Ada apa dengan semua orang di kerajaan ini sih?" tanya Soraya pelan tapi sinis.
"Soraya, aku sudah diberi tahu segala hal tentang perang. Disiapkan dengan baik sejak langkah pertamaku untuk menghadapi segala situasi di garis terdepan. Tapi perang melawan saudara kembarku sendiri rasanya berbeda Soraya. Aku tidak pernah disiapkan untuk ini," lirih Devabrata.
Soraya menghembuskan napasnya berat. Sudah pasti perang ini berat untuk Devabrata. Sejahat apapun Raelta, mereka tetap saudara. Soraya tidak bisa melupakan fakta ini.
"Soraya, apa aku tak seberharga itu? Apakah semua yang kulakukan masih kurang untuk membuat mereka percaya padakh?" Devabrata bertanya dengan pandangan kosong.
Soraya terdiam, ia tidak tau harus menjawab apa. Jujur saja, melihat Devabrata yang rapuh sekarang dengan Devabrata yang penuh rasa percaya diri dulu rasanya sangat aneh. Sudah tidak ada lagi tatapan penuh rasa intimidasi. Tak ada lagi ucapan tegas yang tak terbantahkan. Semuanya tergantikan dengan sesosok remaja lelaki dengan tatapan kosong dan ucapan lirih. Entah dimana remaja yang dahulu berdiri gagah membelanya di tengah-tengah pesta dansa.
Dengan gerakan pelan, Soraya bangkit dari kursinya. Beberapa tahun berada disini sudah cukup bagi Soraya untuk memahami kebiasaan Devabrata.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Yang harus kamu tahu, kau lebih baik dari pada mereka yang hanya bisa berbicara tanpa melakukan apapun," ucap Soraya lembut sebelum akhirnya pergi dengan keluar ruangan. Membiarkan Devabrata sendirian dengan segala pemikirannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH OF THE VILLAINS
FantasySeorang wanita berdiri gemetar ditengah tengah persidangan. Menunggu keputusan apakah dia akan dihukum mati atau dibiarkan hidup. Soraya, putri dari duke Anarres diduga meracuni putri dari viscount Debaran Elea. Soraya dikatakan mencampurkan racun d...